Source dari : Tulus Tahi
Hamonangan Tambunan
FORUM
EKONOMI INDONESIA
Center for Industry, SME & Business
Competition Studies
University of Trisakti
1. Latar Belakang Permasalahan
Ropke
(1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau
anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria
identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip
identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan
koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda)
yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi
koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang
diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya.
Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial
ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap
anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan
mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang
dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989).
Dalam
sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal
dari Indonesia.
Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di
Inggris di sekitar abad pertengahan (atau ada yang bilang dimasa revolusi industri di-Inggris) yang diprakarsai
oleh seorang industrialis yang sosialis yang bernama Robert Own. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong
kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang
kekuatan mereka sendiri. Berdirinya koperasi buruh tersebut berfungsi
membeli barang kebutuhan pokok secara bersama-sama dan memang ternyata bahwa
harga di toko koperasi lebih murah jika dibandingkan dengan toko-toko yang
bukan koperasi. Ide koperasi ini kemudian
menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi
diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini,
banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS
sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian,
industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat
kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara
maju (NM) dan negara sedang berkembang (NSB) memang sangat diametral. Di NM koperasi
lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh
dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu
koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan
ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang
mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam
rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di
NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi
mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh
dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai
diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan
sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di
Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang
pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian
setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi
dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan
berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi (Soetrisno, 2003).
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia
memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang
dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari
kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang
merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya
yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang
terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini
sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di
dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan
bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang
mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga
hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara
benar dan konsisten. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu
memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian
dari pemerintah.
Keberadaan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat
ditilik dari sisi usianyapun yang sudah lebih dari 50 tahun berarti sudah
relatif matang. Sampai dengan bulan November 2001, misalnya, berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(UKM), jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000
unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu
jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan
yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak
96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004
tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan
rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Data terakhir
tahun 2006 ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang
aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Namun uniknya, kualitas perkembangannya selalu menjadi
bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan
generiknya. Juga, secara makro pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan
kontribusi koperasi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.
Sedangkan secara mikro pertanyaan yang mendasar berkaitan dengan kontribusi
koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Menurut Merza (2006), dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.
Jadi, dalam kata lain, di Indonesia, setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga
yang namanya koperasi yang diharapkan
menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan
ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik seperti di negara-negara maju
(NM). Oleh karena itu tidak heran kenapa peran koperasi di dalam perekonomian Indonesia masih
sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di
luar kepentingan generiknya.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka pertanyaan
utama dari makalah ini adalah kenapa koperasi-koperasi di NM, yang sering
dikatakan sebagai ekonomi-ekonomi yang kapitalis yang tidak cocok bagi
pengembangan koperasi, bisa maju, sedangkan di Indonesia dimana keberadaan
koperasi dikaitkan dengan idologi Pancasila malahan tidak berkembang baik?
Jadi, yang dibahas di makalah ini adalah factor-faktor yang membuat koperasi di
NM bisa berkembang dengan baik.
2. Perkembangan
Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
2.1 Fakta
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi
usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi
koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan.
Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan
petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan
mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas
oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun
suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan
perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi
ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia,
baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut
hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni
Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor
pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan
korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat
diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan
pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar.
Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan
penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan
internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian
sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam
kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran
antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik
oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan
(Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam
Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional.
Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga
dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam
negeri.
2.1.1 Di Tingkat Dunia
Menurut data dari laporan tahunan 2006 dari International Co-operative
Alliance (ICA, 2006), di dunia ada sekitar 800 juta orang yang menjadi anggota
koperasi. Diperkirakan koperasi-koperasi di dunia secara total mengerjakan
lebih dari 100 juta orang, dan memberi jaminan kehidupan bagi sekitar 3 miliar
orang. Sekitar
20% lebih dari jumlah koperasi yang ada diciptakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional. Sebanyak 300 koperasi terbesar di dunia (Global 300) berdasarkan
nilai omset memiliki nilai aset sekitar 30-40 triliun dollar AS dan omset
tahunan 963 miliar dollar AS. Dengan nilai ini, 300 koperasi tersebut sebagai
satu kelompok menjadi ekonomi terkuat no 10 di dunia untuk periode 2004, setelah
Kanada, Spanyol, Italia, dan China, masing-masing pada posisi ke 9, 8,7,dan 6. Pada posisi teratas
adalah AS, disusul oleh Jepang, Jerman, Perancis dan Inggris. Menurut sektor,
sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu adalah koperasi-koperasi industri
makanan dan pertanian, yakni sekitar 32,6%, disusul oleh ritel (24,7%), dan
keuangan/asuransi (21.8%).
Yang sangat menarik dari laporan ini adalah bahwa sebagian besar dari 300
koperasi terbesar itu berasal dari NM, terutama Amerika Utara, UE dan Jepang.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 1, dari NSB, hanya Korea yang masuk di
dalam daftar 10 besar. Masih menurut laporan ICA (2006) tersebut, lima (5)
besar negara di mana sumbangan dari koperasi terhadap produk domestik bruto
(PDB) terbesar adalah dari NM (Tabel 2).
Tabel 1:
Sepuluh Besar Koperasi di Dunia
No
|
Nama
|
Negara
|
Tahun didirikan
|
Omset
(dollar AS)
|
Total aset
(dollar AS)
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Zen-Noh
(National Federation of Agricultural Co-operatives)
Zenkyoren
Crédit
Agricole Group
Nationwide
Mutual Insurance Company
National
Agricultural Cooperative Federation (NACF)
Groupama
Migros
The
Co-operative Group
Edeka
Zentrale AG
Mondragon
Corporation
|
Jepang
Jepang
Perancis
AS
Korea
Perancis
Swis
Inggris
Jerman
Spanyol
|
1948
1951
1897
1925
1961
1899
1925
1863
1898
1956
|
53.898
46.680
32.914
23.711
22.669
21.651
17.779
16.556
15.986
14.155
|
14.951
398.218
1.235.161
157.314
177.102
86.657
14.746
31.215
4.656
25.164
|
Sumber:
ICA (2006)
Tabel 2: Lima
Besar Negara dengan Pangsa PDB terbesar dari Koperasi
Negara
|
Pangsa PDB (%)
|
Finlandia
Selandia
Baru
Swis
Belanda
Norwegia
|
16,1
13,9
11,0
10,2
9,0
|
Sumber: ICA
(2006).
2.1.2 Eropa
Di Eropa koperasi
tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga
disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan ritel, koperasi-koperasi
konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan ritel modern
(Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti
Perancis, Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA (1998a), pangsa pasar
dari bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2
(dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole"
di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit sebagai kebutuhan universal
bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen
dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah anggota potensial dari
koperasi kredit (Soetrisno, 2001). Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh
negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan
kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5
persen di Swiss.
Di negara-negara
Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu
sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia, 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari
jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi susu
bertanggung jawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi-koperasi konsumen
memegang 25% dari pasar; koperasi-koperasi perikanan bertanggung jawab untuk
8,7% dari jumlah ekspor ikan; dan koperasi-koperasi kehutanan bertanggung jawab
untuk 76% dari produksi kayu. Di Finlandia, koperasi S-Group punya 1.468.572
anggota yang mewakili 62% dari jumlah rumah tangga di negara tersebut. Grup-grup
koperasi dari Pellervo bertanggung jawab untuk 74% dari produk-produk daging,
96% dari produk-produk susu, 50% dari produksi telor, 34% dari produk-produk
kehutanan, dan menangani sekitar 34,2% dari jumlah deposito di bank-bank di
negara tersebut. Pada tahun 1995, dua koperasinya yang masuk di dalam 20
koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa (UE) adalah Metsaliitto (kayu) dengan
penghasilan 3.133 juta ecu dengan 117.783 anggota, dan Valio (produk-produk
susu) dengan penghasilan 1.397 juta ecu, 47 anggota dan 5.101 pekerja. Di
Denmark, pada tahun 2004 koperasi-koperasi konsumen meguasai pasar 37% dan dua
koperasi pertaniannya, yakni MD Foods (produk-produk susu) dan Danish Crown
(daging) masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE berdasarkan nilai omset
pada tahun 1995. Pada tahun itu, penghasilan MD Foods mencapai 1,681 miliar ecu
dengan 8919 petani sebagai anggota dan mengerjakan 3678 orang, sedangkan Danish
Crown hampir mencapai 1,577 miliar ecu dengan 12560 orang anggota dan 6965
pekerja. Di Sweden,
koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004, dan pada
tahun 1995 satu koperasi pertaniannya dari subsektor susu masuk 20 besar di EU,
yakni Arla dengan omset 1,369 miliar ecu, anggota 10365 orang, dan mengerjakan
6020 orang.
Di Jerman, sekitar 20
juta orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi, dan koperasi yang
jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata bagi
perekonomian negara tersebut, diantaranya menciptakan kesempatan kerja untuk
440 ribu orang. Salah satu sektor dimana koperasi sangat besar perannya adalah perbankan.
Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan
kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa. Pada tahun 1995, ada dua koperasi
dari Jerman yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Baywa
(fungsi multi) dengan penghasilan 3.542 juta ecu dan mengerjakan 10794 orang,
dan RHG (fungsi multi) dengan penghasilan 1.790 juta ecu, 260 anggota, dan
2.946 pekerja.
Di Inggris, diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi,
dan pertanian merupakan sektor di mana peran koperasi sangat besar. Sektor
lainnya adalah pariwisata. Biro perjalanan swasta terbesar di negara itu adalah
sebuah koperasi. Pada tahun 1995, Milk Marque, koperasi produk-produk susu,
masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, dengan omset mencapai 2.393.000.000
ecu, dengan jumlah anggota tercatat sebanyak 18 ribu orang dan memberi
kesempatan kerja ke 300 orang. Sedangkan di Irlandia, koperasi-koperasi
pertaniannya yang juga masuk di dalam kelompok besar tersebut adalah The Irish
Dairy Board (jumlah anggota: 71), Avonmore (13245), dan Kerry Group (6000) yang
semuanya di bidang produksi susu dengan omset antara 1.463,3 juta ecu hingga
1.523,3 juta ecu. Jumlah kesempatan kerja yang diciptakan oleh ketiga koperasi
susu tersebut mencapai antara 2010 hingga 6426 orang.[2]
Di Perancis jumlah koperasi tercatat sebanyak 21 ribu unit yang memberi
pekerjaan kepada 700 ribu orang, sedangkan di Italia terdapat 70400 koperasi
yang mengerjakan hampir 1 juta orang pada tahun 2005. Pada tahun 1995
berdasarkan omset tahunannya, tiga koperasi di Perancis masuk 20 koperasi
pertanian terbesar di EU, yakni Sodiaal untuk produk-produk susu dengan omset
hampir mencapai 2,6 miliar ecu, Socopa untuk daging dengan 1,99 miliar ecu, dan
UNCAA untuk input-input dan produk-produk daging dengan omset 1.527.900 ribu
ecu.
Belanda, walaupun negaranya sangat kecil, tetapi koperasinya sangat maju.
Salah satu adalah Rabo Bank milik koperasi yang adalah bank ketiga terbesar dan
konon bank ke 13 terbesar di dunia. Contoh lain adalah perdagangan bunga.
Mayoritas perdagangan bunga di negara ini digerakkan oleh koperasi bunga yang
dimiliki oleh para petani setempat. Belanda juga punya banyak koperasi yang
berkecimpung di sektor pertanian yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di
UE, yakni Campina Melkunie (produk-produk susu), Cebeco Handelsrand (input dan
produksi pertanian), Friesland Dairy Foods (produk-produk susu), Coberco
(produk-produk susu), Demeco (daging), dan Greenery/VTN (buah-buahan dan
sayur-sayuran), dengan penghasilan paling kecil 1,346 miliar ecu (VTN) hingga
terbesar 3.1 miliar ecu (Campina), jumlah anggota paling sedikit 50 orang
(Cebeco) dan terbanyak 17850 orang (VTN) dan jumlah pekerja paling sedikit 3000
orang (Dumeco) dan terbanyak 7490 orang (Friesland). Di negara tetangganya
Belgia, pada tahun 2001 tercatat jumlah koperasi mencapai 29.933 unit, dan
koperasi farmasinya memiliki pangsa pasar sekitar 19,5%.
Di negara-negara Eropa Timur, koperasi juga sangat maju. Misalnya, di
Hongaria, koperasi-koperasi konsumen bertanggung jawab terhadap 14,4% dari
makanan nasional dan penjualan-penjualan eceran umum pada tahun 2004. Di
Polandia, koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 75% dari produksi susu
di dalam negeri. Di Slovenia, koperasi-koperasi pertanian bertanggung jawab
untuk 72% dari produksi susu, 79% dari sapi, 45% dari gandum, dan 77% dari
produksi kentang. Di Slovakia, terdapat lebih dari 700 koperasi yang
mengerjakan hampir 75 ribu orang.
2.1.3 Amerika Utara
Sementara itu, di AS 1 dari 4 orang (atau sekitar 25% dari jumlah pendudu)
adalah anggota koperasi. Lebih dari 30 koperasi punya penghasilan tahunan lebih
dari 1 miliar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi
kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta
orang dengan rata-rata jumlah simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara
Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri,
misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji
karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di
Amerika Serikat (seperti juga di Kanada) sering memberikan julukan koperasi
kredit sebagai “bank rakyat”, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan
kepada anggotanya pula (Mulyo, 2004). Selain di sektor kredit, koperasi di AS
juga kuat di sektor-sektor lainnya termasuk, industri, pertanian dan enerji.
Sekitar 90% lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi
Sunkis di California mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga
pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca
Cola cukup membeli sunkis dari koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani
sunkis (Mutis, 2001).
Koperasi di AS terutama sangat penting di pertanian. Data 2002 menunjukkan
bahwa pada tahun itu, ada sekitar 27 ribu lebih koperasi pertanian dengan
sekitar 156,19 juta petani sebagai anggotanya (banyak dari mereka menjadi
anggota dari lebih dari 1 koperasi. Jumlah ini paling besar di antara kelompok
NM. Koperasi di pertanian terfokus pada kegiatan-kegiatan berikut ini:
pemasaran produk-produk pertanian, pemasokan bahan baku/input, dan yang terkait
dengan pelayanan-pelayanan petani lainnya. Mereka menguasai kurang lebih 28%
hingga 30% pangsa pasar (Zeuli dan Cropp, 2005).[3]Beberapa koperasi pertanian yang sangat maju di AS
adalah Agrilink, Cenex Harvest States, Dairy
Farmers of America, Farmland, dan Land O’ Lakes.
Pada tahun 2002 jumlah koperasi di negara adi daya ini
tercatat mencapai 48 ribu unit di hampir semua jalur bisnis, memberikan
pelayanan kepada 120 juta anggota, atau sekitar 4 dari setiap 10 penduduk di
negara tersebut. 100 koperasi terbesar
di AS, diperingkat menurut omset, secara individu menciptakan paling sedikit
346 juta dollar AS dan dalam total mencapai 119 miliar dollar AS pada tahun
tersebut (Zeuli dan Cropp, 2002) (Tabel 3).
Tabel 3: 100
Koperasi terbesar menurut Omset dan Sektor Bisnis di AS, 2002
Sektor
|
Jumlah koperasi
|
Omset (juta dollar AS)
|
Pertanian
Perdagangan besar/Groseri
Keuangan
Komunikasi enerji
Peringkat keras dan lumber
Lainnya
|
41
18
12
16
6
7
|
58
26,1
10,2
9,7
8,8
6,5
|
Sumber: Zeuli dan Cropp (2002).
Menurut ICA, di Kanada
4 dari setiap 10 orang (atau sekitar 33% dari jumlah populasinya) adalah
anggota paling sedikit satu koperasi. Koperasi (termasuk koperasi kredit atau credit union) mengerjakan lebih dari 160
ribu orang. Gerakan koperasi the Desjardins (koperasi tabungan dan kredit)
dengan lebih dari 5 juta anggota adalah pencipta kesempatan kerja terbesar di
Propinsi Québec. Di propinsi ini sendiri, sekitar 70% dari jumlah penduduk
adalah anggota koperasi, dan di Saskatchewan
sekitar 55% dari jumlah populasinya.
Jumlah koperasi di
negara tersebut mencapai 8800 unit yang mempekerjakan secara langsung 150 ribu
orang. Di seluruh negara itu, sebanyak 250 ribu produsen mandiri tergantung pada
pemasaran dan produksi koperasi untuk kehidupan mereka. Koperasi-koperasi di
Kanada terutama sangat penting di perdesaan dan wilayah-wilayah terpencil,
dimana mereka memenuhi kebutuhan produsen-produsen di pertanian, perikanan,
kerajinan, dan manufaktur lainnya. Di sektor pertanian, banyak koperasi
mendirikan industri pupuk dan di sektor pertambangan, banyak koperasi yang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengeboran minyak bumi. Banyak koperasinya
yang memiliki pangsa yang cukup besar di pasar global. Misalnya koperasi-koperasi gula
menguasai sekitar 35% dari produksi gula dunia.
Koperasi-koperasi di Kanada memiliki aset dengan nilai lebih dari 20 miliar
dollar Kanada, yang dimiliki oleh anggota dan masyarakat yang dilayaninya.
Koperasi-koperasi non-keuangan menghasilkan omset mendekati 30 miliar dollar
Kanada rata-rata/tahun. Lima besar koperasi non-keuangan di Kanada berdasarkan
omset diperlihatkan di Tabel 4. Paling tidak, 7 koperasi masuk di dalam 500
besar perusahaan-perusahaan Kanada, dan sejumlah koperasi keuangan dinilai
sebagai tempat terbaik untuk bekerja di negara itu.
Hal yang sangat menarik adalah bahwa, menurut suatu penelitian tahun 2001
yang dilakukan oleh Menteri Industri dan Perdagangan Québec (dikutip dari ICA),
tingkat survival jangka panjang dari
perusahaan-perusahaan koperasi hampir dua kali lipat dari perusahaan-perusahaan
non-koperasi.
Tabel 4:
Lima Besar Koperasi Non-Keuangan di Kanada berdasarkan Omset
Nama
|
Total Omset
|
Aset
|
Kegiatan Utama
|
||
2006
|
2005
|
($)
|
($)
|
||
1
|
1
|
Federated Co-operatives Limited.
|
5.413.759.000
|
2.682.699.000
|
Grosir,
barang-barang konsumen, penyulingan minyak, bahan-bahan bangunan
|
2
|
2
|
La Coop fédérée
|
3.175.543.749
|
1.004.006.000
|
Makanan,
minyak, bahan-bahan baku keperluan petani
|
3
|
3
|
Agropur Coopérative
|
2.284.117.000
|
845.342.000
|
Produk-produk
makanan seperti susu dll.
|
4
|
4
|
United Farmers of Alberta Co-operative Limited
|
1.624.058.000
|
549.361.000
|
Minyak, bahan-bahan
kebutuhan produksi pertanian/petani, bahan-bahan bangunan
|
5
|
5
|
Calgary Co-op Assn Ltd. (Alta.)
|
925.959.000
|
313.785.000
|
Supermarket,
minyak, farmasi, biro perjalanan
|
Sumber: Pemerintah
Kanada (http://www.agr.gc.ca/rcs-src/coop/index_e.php?s1=info_coop&page=intro).
2.1.4 Asia
Di Jepang, 1 dari setiap 3 keluarga adalah anggota koperasi. Koperasi
menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Koperasi-koperasi
pertanian menghasilkan output sekitar 90 miliar dollar AS dengan 91% dari
jumlah petani di negara tersebut sebagai anggota. Peran koperasi di pedesaan
Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula
sebagai “bank rakyat” karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan
sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni
bank Nurinchukin bank (Rahardjo, 2002).
Di negara-negara Asia lainnya dengan tingkat pembangunan ekonominya yang
sudah relatif tinggi seperti Singapura dan Korea Selatan, peran koperasi juga
sangat besar. Di Singapura 50% dari
jumlah populasinya adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi konsumennya
memegang 55% dari pasar dalam pembelian-pembelian supermarket dan mempunyai suatu penghasilan sebesar 700 juta dollar
AS. Di Korea Selatan, koperasi-koperasi pertanian punya anggota lebih dari 2
juta petani (90% dari jumlah petani), dan menghasilkan output sebanyak 11
miliar dollar AS. Koperasi-koperasi di subsektor perikanan memiliki pangsa 71%.
Koperasi konsumen di
Singapura, seperti juga di misalnya Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi
pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara
tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara tersebut, mereka berusaha
untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun
perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai
peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di
daerahnya (Mulyo, 2004).
2.2 Faktor-faktor Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi
Indonesia
Hebatnya perkembangan dari
koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi
tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi
tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan
besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi
dari negara-negara kapitalis tersebut.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di
Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Banyak studi-studi kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari
koperasi-koperasi di NM. Misalnya dari Trechter (2005)
mengenai the Fonterra Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the
Australian Wheat Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek,
pemasaran susu di SB telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke
dalam sejumlah koperasi yang saling bersaing
ke satu sektor yang didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14
koperasi susu di SB. Sekarang hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni
FCG, dan dua yang kecil berbasis regional yang
beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand
Dairy Group (NZDG) mendominasi industri susu di SB dan mereka adalah
pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi
antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat terbentuknya FCG sangat lama dan
alot. Menurut website-nya, FCG adalah
korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari PDB negara itu, menyumbang sekitar 20%
dari cadangan devisa SB, dan perusahaan susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG
memiliki sejumlah merek konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters
and Brownes, dan Tip Top. FCG punya sekitar 12.300 anggota dan
fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain di SB. FCG secara
cepat memperluas pengaruhnya di pasar
susu di Australia dengan membeli Australian Food Holdings, bagian dari National
Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas kepemilikannya dari
Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama dari didirikannya FCG adalah
untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk menyediakan suatu landasan
yang lebih efektif untuk bisa bersaing di pasar-pasar susu global. Kedua tujuan
ini mempromosikan penggabungan dua tipe yang teridentifikasi dari
penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama, rasionalisasi dari rantai suplai
diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan yang substansial.
Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat dieliminasi lewat
penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa membuat FCG mampu
merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata, yang berarti juga
harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.
Pendirian FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan
kemampuan dari industri susu SB untuk bersaing di pasar-pasar internasional.
FCG cocok
dengan definisi dari suatu generasi baru dari koperasi dalam banyak hal: (1)
koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara
berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu
suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG
bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu
harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual
dengan produsen-produsennya yang harus punya satu bagian dari stok susu FCG
untuk setiap kilo dari susu yang akan diserahkannya.
Karakteristik penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut
mempunyai suatu fokus yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi
yang menciptakan kesetiaan pembeli dan harga premium.
AWB juga memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah
Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas untuk mengekspor gandum. Pada
tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt, gandum dan mempunyai
pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah
ekspor dan 12% dari ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan
pasar gandum global, AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang
saham terbesar kedua (17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus
memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi
bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai
suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di
posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan
kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan
dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan
modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible
seperti brand name, reputasi, dan
pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii)
kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk
melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif
(misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan
koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya.
Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain
(non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya
dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari
koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi
komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak
bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus
mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu
memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami
perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan
teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera
pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih
murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya
pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi
perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan
keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan
mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi
konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3)
sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu
strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap
perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai
tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi
mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari
koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa
kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria
kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1)
memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan
perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2)
menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan
suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain
kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk
bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada
kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau
pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah
termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor
yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari
koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan
sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau
dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi
yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya
terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain
faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan
hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan
ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap
dan up to date kepada
anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan
rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur,
prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4)
mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan
direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang
didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik,
dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan
aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan
kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.
Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun
belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang
terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan
the Rice Growers Association (RGA)
telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan
keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa
koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk
bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin
ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi
tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat
kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan
dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3)
keanggotaan yang pasif.
Sedangkan bagi Anderson dan Henehan
(2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu
keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis
terkait (misalnya perubahan pasar atau
masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi.
Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka
bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka,
koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara
faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur
berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur
berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan
direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas,
mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur
keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja
dari koperasi, dewan dan manajemennya.
Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini
sedang mengalami perubahan akibat persaingan global yang semakin sengit dan
perubahan selera konsumen. Di AS, akibat persaingan dari produk-produk
pertanian dari luar negeri dan perubahan pola konsumsi, telah terjadi
konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250
petani di negara tersebut, dan pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859,
suatu penurunan 30%. Pada waktu yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat.
Saat jumlah petani menurun dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap
individu pembeli produk-produk pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi
koperasi lokal pemasok dan pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu
bersamaan, koperasi-koperasi pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang
lebih sedikit, masing-masing dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih
agresif satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan pembeli/keuntungan.
Industri-industri yang memasok petani (bibit, pupuk dll.) dan industri-industri
pengolahan produk-produk pertanian sedang mengalami suatu periode dari
konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit jumlah pemain untuk bersaing
mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan
kunci di industri-industri tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi
pemasok-pemasok dan pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya
pilihan menjadi lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari
dan menjual kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal
tersebut. Saat seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk
menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, banyak yang merespons dengan
melakukan perubahan structural.[4]
Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak
manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara
bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan
koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi
investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah
seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam
kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur
sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar
domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa
merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001)
menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya
yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok
dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2)
mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku
(produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3)
keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik;
(5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang
lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat
keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional
(ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang
paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello
(2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian
bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan
dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka
untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan
kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau
kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas
mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar
ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan
cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat
dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik
regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas
dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai
standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen,
dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan
(6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika
Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi
di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya)
disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal
diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal
terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural
dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal
terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong
oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan
harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka,
problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan
oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi
anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk
organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi
koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan
sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih
dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan
menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda
pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi
sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang
dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi
yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali
perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi
diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak
diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti
dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari
anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi
organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah
dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka
hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober
29-20, 2001 di Las Vegas, Nevada (AS)[5]menghasilkan beberapa
butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang
dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni
sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran
lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi
regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan
yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan
strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4)
program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari
Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid
sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan
penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia
juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut
Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya
berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit
seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan
Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya,
Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala
usaha koperasi harus layak secara ekonomi;[6](ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang
menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi
platform dasar menumbuhkan koperasi;[7](iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi
dilema bilateral monopoli menjadi akar
memperkuat posisi tawar koperasi;[8]dan
pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan
koperasi (pengembangan SDM)..
3. Potret Singkat Kinerja Koperasi
di Indonesia
Berdasarkan
data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001,
jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan
jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding
dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua
kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup
menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit
(88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730,
tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan
anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada
138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit
dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Sedangkan menurut Ketua Umum Dewan
Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di Kompas, Kamis,
per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30 persennya
belum aktif.[9]Informasi terakhir dari
Triyatna (2009), jumlah koperasi tahun 2007 mencapai 149.793 units, diantaranya
104.999 aktif, atau sekitar 70% dari jumlah koperasi dan sisanya 44.794
non-aktif (Tabel 4). Selama periode 2006-2007, jumlah koperasi aktif tumbuh
6,1% sedangkan laju pertumbuhan koperasi tidak aktif sekitar 5,7%. Corak
koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Tabel 4:
Perkembangan Usaha Koperasi, 1998-2007*
Periode
|
Jumlah unit
|
Jumlah anggota
(juta orang)
|
Koperasi aktif
|
RAT (% dari koperasi aktif
|
|
Jumlah
|
%
|
||||
Des. 1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
|
52.000
103.077
110.766
117.906
123.181
130.730
132.965
141.738
149.793
|
..
27,3
23,7
24,001
27,3
27,5
27,4
28,1
..
|
..
..
96.180
..
93.800
93.402
94.818
94.708
104.999
|
..
86,3
81,0
78,9
76,20
71,50
71,0
70,1
70,00
|
..
40,8
41,9
46,3
47,6
49,6
47,4
46,7
..
|
* Lihat lampiran untuk data paling akhir
(September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber: Menegkop & UKM
Mengenai jumlah
koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/98, menurut
Soetrisno (2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara
luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres
18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan
hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.[10]
Salah satu indikator
yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume
usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan bahwa kedua
indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006. Untuk volume
usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke hampir 54,8
triliun rupiah tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah tahun 2000 ke
3,1 triliun rupiah tahun 2006. (Tabel 5). Menurut data paling akhir yang ada
yang dikutip oleh Triyatna (2009), pada tahun 2007 jumlah SHU koperasi aktif
mencapai 3.470 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif sekitar 23.324
miliar rupiah. Selama periode 2006-2007, pertumbuhan SHU sekitar 7,9% dan modal
luar 5,7%.
Tabel 5: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000-2006*
Periode
|
Rasio modal sendiri dan modal luar
|
Volume usaha
(Rp miliar)
|
SHU (Rp
miliar)
|
SHU terhadap
volume usaha (%)
|
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
|
0,55
0,72
0,58
0,63
0,71
0,71
0,77
..
|
23.122
38.730
26.583
31.684
37.649
34.851
54.761
..
|
695
3.134
1.090
1.872
2.164
2.279
3.131
3.470
|
3,00
8,09
4,1
5,91
5,75
6,54
5,72
..
|
* Lihat lampiran untuk data paling akhir
(September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber: Menegkop &
UKM
Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang
menguasai antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat
dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25%
dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Hingga
akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat
kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP
dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup
gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi
hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada
dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi (Soetrisno,
2003c).
Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif
sebagai persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar propinsi. Pertanyaan
sekarang adalah kenapa jumlah koperasi atau proporsi koperasi aktif berbeda
menurut propinsi? Apakah mungkin ada hubungan erat dengan kondisi ekonomi yang
jika diukur dengan pendapatan atau produk domestic regional bruto (PDRB) per
kapita memang berbeda antar propinsi? Secara teori, hubungan antara koperasi aktif dan
kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi
permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat
prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas
koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa
disebut efek demand-pull. Dari sisi
penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per
kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan
bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi
kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang
dapat disebut supply-push.[11]
Daftar
Pustaka
Affandi, Yoga
(2002), “The Optimal Monetary Policy Instruments: The Case Of Indonesia”, Buletin Ekonomi
Moneter Dan Perbankan, 5(3).
Aldrich, Howard dan Robert N. Stern (1984), “Resource
Mobilization and the Creation of US Producer Cooperatives”, Economic and Industrial Democracy,
4:371-406
Amy M. Nagler, Dale J.
Menkhaus dan Alan C. Schroeder (2004), “Institutions
and Agricultural Cooperatives in Wyoming”,
UWCC Staff Paper No.4, August, University of Wisconsin Center for Cooperatives
Anderson, Bruce L. dan Brian M. Henehan (2003)” What Gives
Cooperatives A Bad Name,”makalah dalam the NCR 194 Meeting, Oktober, Kansas City, Missouri
Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic
Growth and Policy Reform in the APEC Region: Trade and Welfare Implications by
2005”, Asia Pacific Economic Review,
3(1).
APEC (1997), “The Impact of Trade Liberalization in APEC”, Economic
Committee of APEC, Singapore:
APEC Secretary
APEC (1999), “ The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in
the Asia Pacific Region”, Report by the Network for Economic Development
Management, Human Resource Development Working Group, Singapore: APEC Secretary.
Baarda, J.R. (1982),
“State Incorporation Statutes for Farmer Cooperatives”, Info. Report 30, USDA-Agricultural
Cooperative Service, Washington,
D.C.
Baldwin, Robert E. dan P. Martin (1999), “Two Waves of Globalization:
Superficial Similarities, Fundamental Differences”, NBER Working Paper
NO.W6904, NBER, Cambridge Mass.
Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2000b), Global
Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C.
Barr, Terry N. (2005),
“Trends in Global Market and Implications for Farm Policy and Cooperatives”,
makalah dalam the 8th Annual Farmer Cooperatives Conference,
November 7-8, USA
Berger, Peter L. (1997), “Four Faces of Global Culture”, National Interest, 49.
Berger, Peter L. dan Samuel P. Huntingdon (ed.)(2002), Many Globalizations: Cultural Diversity in
the Contemporary World, Oxford:
Oxford University Press.
Birchall, Johnston (1997), The International Co-operative Movement,
Manchester: Manchester University
Press.
Boediono (1998),. “Penggunaan
Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli.
Bonin, John P., Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993),
“Theoretical and Empirical Studies of Producer Cooperatives: Will Ever the
Twain Meet?”, Journal of Economic
Literature, 31: 1290-1320
Bora, Bijit, Lucian Cernat, dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and
Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from CGE Modelling”, Policy Issues
in International Trade and Commodities Study Series No.14, New
York dan Geneva:
UNCTAD
Braverman, Avishay, J.
Luis Guasch, Monika Huppi, dan Lorenz Pohlmeier (1991), ”Promoting Rural
Coperatives in Developing Countries. The Case of Sub-Saharan Africa”, World
Bank Discussion Papars, No.121, April, Washington,
D.C.: The World Bank.
Cable, Vincent (1999), “Globalization and Global Governance”, Chatham House Papers, London: Royal Institute of International
Affairs.
Chamard, John dan Tom Webb (2004), “Learning to Manage the Co-operative
Difference”, makalah dalam the 12th IAFEP conference, Halifax, Nova
Scotia, Juli 8-10.
Chowdhury, Anis,
dan Hermanto Siregar (2004), “Indonesia’s
Monetary Policy Dilemma–Constraints Of Inflation Targeting”, The Journal Of
Developing Areas, 37(2).
Conry, E.J., G.R.
Ferrera dan K.H. Fox (1986), The Legal
Environment of Business, Dubuque, IA: Wm. C. Brown.
Crook, Clive (2001), “Globalization and its Critics”, The Economist, 29, September.
Cummins, David E.
(1993), “Corn Belt Grain Cooperatives Adjust
to Challenges of 1980s, Poised for 1990s,” ACS Research Report Number 117.
August, Washington, D.C.:United States
Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Eurostat (2001), “A
Pilot Study on Co-operatives, Mutuals, Associations and Foundations”, Luxembourg:
Eurostat.
Feridhanusetyawan, Tubagus (1997), “Trade Liberalization in Asia Pacific: A Global CGE Approach”, The Indonesian Quarterly, XXV(4).
Feridhanusetyawan Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade
Liberalization: Estimating The Gains”, Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 39(1).
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects
of AFTA and APEC Trade Policy Reform on Indonesia Agriculture”, dalam Randy
Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy:
Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Center for International
Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide.
Friedman, Thomas (2000), The
Lexus and the Olive Tree, London:
HarperCollins.
Friedman, Thomas (2002), Memahami Globalisasi; Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: ITB
Furlough, Ellen dan Carl Strikwerda (ed.)(1999), Consumers Against Capitalism? Consumer Cooperation in Europe.
North America and Japan,
1840-1990, Lanham, MI.: Rowman & Littlefield
Gentil, Dominique
(1990), ”Support of Informal Self-Help and Cooperative Groups”, makalah dalam
Seminar Bank Dunia mengenai ”Donor Support for the Promotion of Rural
Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”,
Januari 16-17, Washington, D.C.: the World Bank.
Giddins, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gilbert, J. R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System:
Implications for Welfare and Income Distribution by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Hakim, Abdul (2004), Ekonomi
Pembangunan, Cetakan kedua, September, Yogyakarta:
EKONISIA.
Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi
Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hansmann, Henry (1996), The
Ownership of Enterprise, Cambridge, MA:
Belknap Press.
Hanson, J.M. (2001), “A New Cooperative Structure for the 21
Processing Cooperative Law”, makalah dalam the Rocky Mountain Farmers Union Leadership
Roundup, Cheyenne,
WY., 22 Sept.
Hariyono (2003), “Koperasi
Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(4), Juli.
Hendar dan Kusnadi (2005), Ekonomi
Koperasi, edisi kedua, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
Hill, Roderick (2000), “The Case of Missing Organizations:
Co-operatives and the Textbooks”, Journal
of Economic Education, 31(3): 281-95
Hirst, Paul dan Grahame Thompson (1999), Globalization in Question: The International Economy and The Possibilities
of Governance, edisi ke 2, Cambridge:
Polity Press.
ICA (1998a), “Statistics and
Information on European Co-operatives”, Geneva:
International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
ICA (1998b), “Latest ICA Statistics of July 1, 1998”, Geneva: International
Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
ICA (2006), Annual Report 2006, Geneva:
International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.).
Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization
Improve Welfare in the Least-Developed Countries? Yes”, Policy Research Working
Paper No.1748, April, Washington,
D.C.: The World Bank.
Irawan, Ferry dan Sugiharso
Safuan (2004), “Kebijakan Moneter, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi: Pengujian
Hipotesis Ekspektasi Rasional dengan Analisis VAR”, makalah dalam Seminar
Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta:
Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jatnika, Firman dan Sugiharso
Safuan (2004), “Pengaruh tingkat suku bunga domestik riil terhadap nilai tukar
riil dan cadangan devisa di Indonesia periode 1992.1-2002.12”, makalah, Seminar
Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi
Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jones, Derek C. (1979), “U.S. Producer Cooperatives: The
Record to Date”, Industrial Relations,
18:342-57
Jossa, Bruno (2005), “Marx, Marxism and the Cooperative
Movement”, Cambridge Journal of Economics, 29:3-18.
Kalmi, Panu (2006),” The Disappearance of
Co-operatives from Economics Textbooks”, Working Papers W-398, February, Helsinki School of Economics.
Keeling, Jennifer J. (2005), “Lessons
in Cooperative Failure: The Rice Growers Association Experience”, Working
Paper, Department of Agricultural and Resource
Economics University
of California, Davis
Khor, Martin (2002), Globalisasi
Perangkap Negara-negara Selatan, Seri Kajian Global, Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Klinedinst, Mark dan Hitomi Sato (1994), “The Japanese Cooperative
Sector”, Journal of Economic Issues,
28(2): 509-17
Krugman, P. (1995), “Growing World Trade: Causes and Consequences”, Brookings Paper on Economic Acticity, 1.
Lawless, Greg dan Anne Reynolds (2004), “Worker Cooperatives: Case Studies, Key
Criteria & Best Practices”, UWCC
Staff Paper No.3, July, University
of Wisconsin Center for Cooperatives, Madison.
Lindstad, Olav (1990), “Cooperatives as Tools for
Development”, makalah dalam makalah dalam Seminar Bank Dunia mengenai
”Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries:
Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.:
the World Bank.
Lipsey, Richard G. (1980), An Introduction to Positive Economics, London: Weidenfeld and Nicolson
Llosa, Vargas (2000), “Liberalism in the New Millennium”, dalam Ian
Vàsquez (ed.), Global Fortune: The
Stumble and Rise of World Capitalism, Washington,
D.C.: Cato Institute.
Loyd, Bernard
(2001), “Positioning for Peformance: Reshaping
Co-ops for Success in the 21st Century”,
makalah dalam Farmer
Co-operative Conference, Oktober 29, Las Vegas, McKinsey & Company
Mander, Jerry, Debi Barber, dan David Korten (2003), “Globalisasi
Membantu Kaum Miskin?”, dalam International Forum on Globalization,
“Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Seri Kajian Global, Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
McKenna, Thomas (2001), “What’s the Value of Cooperatives?”, makalah
dalam Farmer Cooperatives Conference”, Oktober 29-30, Las Vegas.
Moene, Karl Ove dan Michael Wallerstain (1993), “Unions versus
Cooperatives”, dalam Samuel Bowles, Herbert Gintis, dan Bo Gustafsson (eds.), Markets and Democracy Participation,
Accountability and Efficiency, Cambridge University Press.
Mubyarto (2000), Membangun
Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE. Mulyo,
Jangkung Handoyo (2004), ” Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan
Gerakan Koperasi”, INOVASI, 2(XVI), November
Muelgini,
Yoke (2004), ”Respons komponen-komponen permintaan agregat terhadap kebijakan
moneter Indoneia”, makalah dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember,
Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI
Mutis, Thoby (2001), ”Satu
Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan”, Kompas, 29 September.
Nafziger, E. Wayne (1997), The Economics of Developing Countries,
International Edition, edisi ke 3, Prentice-Hall International, Inc.
Nayyar, D. (1997), “Globalization:
The Past in Our Future, Penang: Third World
Network.
Nello, Susan Senior (2000), “The Role of Agricultural Cooperatives in
the European Union: A Strategy for Cypriot Accession?”, EUI Working Paper RSC
No.2000/42, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, European University
Institute, Florence.
North, D.C. (1990). Institutional
Change, and Economic Performance, Cambridge:
Cambridge University Press.
Partomo, Tiktik Sartika dan
Abd. Rachman Soejoedono
(2002), Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan
Koperasi, edisi kedua, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peterson, Chris (2005), “Searching for a
Cooperative Competitive Advantage”, mimeo, Michigan State
University.
Pitman, Lynn
(2005), “Cooperatives in Wisconsin”,
mimeo, University of Wisconsin Center for Cooperatives. Madison.
Pohlmeler, Lorenz (1990), “Recent Developments in the World Bank’s
Approach to Cooperative Support in Africa”, makalah dalam the World Bank
Seminar on “Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing
Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.
Raghavan, Chakravarty (1990), “Recolonization:
The Uruguay Round, GATT and
the South, Penang: Third World Network
Rahardjo, Dawam M. (2002a),
“Development Policies in Indonesia
and the Growth of Cooperatives”, Prisma,
The Indonesian Indicator, No.23.
Rahardjo,
Dawam M. (2002b), “Apa Kabar Koperasi Indonesia”, Kompas, Jumat, 9 Agustus.
Rodrik, D. (1999), The Global
Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, D.C.:
Overseas Development Council.
Ropke, Jochen (1985), The
Economic Theory of Cooperative Enterprises in Developing Countries. With
Special Reference of Indonesia,
Marburg: University of Marburg.
Rosyidi, Suherman (1996), Pengantar
Teori Ekonomi. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro, edisi revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rusidi dan Maman Suratman
(2002), Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran
Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung. Sadono,
Sukirno (1985), Ekonomi Pembangunan:
Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: FE-UI.
Ruttan, Vernon, W. (2002), ”Social science knowledge and institutional
innovation”, Department of Applied
Economics, College of Agriculture, Food, and Environmental Science, University
of Minnesota, Staff Paper P02-07, May,
[http://agecon.lib.umn.edu/mn/p02-07.pdf).
Samuelson, Paul A. (1973), Economics,
An Introductory Analysis, edisi ke 9, Tokyo:
McGraw Hill KMgakusha, Ltd.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus (1992), Economics, edisi ke 14, Singapura: McGraw Hill, Ltd.
Satriawan, Elan
(1997), “Prospek Sektor Pertanian Indonesia pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2).
Scollay, R. dan J. Gilbert
(1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of
CGE Assessments”, mimeo, APEC Study
Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert
(1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert
(2000) “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of CGE
Assessments”, mimeo, APEC Study Center,
New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert
(2001), “An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues:
Exploring the Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International
Trade and Commodities Series No.11, New York
dan Geneva:
UNCTAD
Shankar, Ravi dan Garry Conan (2002), Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform,
New Delhi: ICA, RAPA.
Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export
and GDP Growth in Least Developed Countries”, Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD.
Soetrisno, Noer (2001), “Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut
Kekuatan Ekonomi Rakyat”, Instrans, Jakarta Stiglitz,
Joseph (2006), Making Globalization Work,
New York:
W.W. Norton & Company.
Soetrisno, Noer (2003a), ”Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia
dan Indonesia”, makalah, Jakarta.
Soetrisno, Noer (2003b), “Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Soetrisno, Noer (2003c), “Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di
Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis”, Jurnal
Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Solikin (2004), “Fluktuasi
Makroekonomi dan Respons Kebijakan yang Optimal di Indonesia”, Working Paper
PPSK – Bank Indonesia.
Subyakto, Harsoyono dan Bambang Tri Cahyono (1990), Ekonomi Koperasi II, Jakarta: Karunika.
Sugiharto (2007), Peran
Strategis BUMN dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia
Hari Ini dan Masa Depan, PT Elex Media Komputindo dan BUMN Executive Club, Jakarta.
Sumarsono, Sonny (2003), Manajemen Koperasi. Teori dan Praktek,
Jakarta: Graha Ilmu.
Suryana (2000), Ekonomi Pembangunan. Problematika dan
Pendekatan, Jakarta: Salemba Empat.
Suwandi, Ima (1985), Koperasi, Organisasi Ekonomi Yang Berwatak
Sosial, Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Tambunan, Tulus T.H. (2004),
Globalisasi dan Perdagangan Internasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. (2006),
Perekonomian
Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: P>T. Quantum
Pustaka.
Tjager I. Nyoman dan Yudi
Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era
Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (ed.), Peluang dan Tantangan Pasar Modal Indonesia
Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Institut Bankir Indonesia
bekerja sama dengan Jurnal Keuangan dan Moneter.
Todaro, Michael P. Economic Development, semua edisi,
Addison-Wesley Publishing Company.
Toffler, Alvin
(1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd..
Trechter, David (2005), “A Neo-Institutional Assessment of
Cooperative Evolution: Comparing the Australian Wheat Board and the Fonterra
Dairy Group”, University of Wisconsin at River Falls, Murray McGregor and Roy
Murray-Prior, Muresk Institute of Agriculture, dan Curtin Institute of
Technology, Western Australia.
Triyatna, Stefanus Osa (2009), “Koperasi. Dekopin Sudah Babak Belur”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 7
Juli 2009, hal.21.
Turtiainen, Turto dan J.D.Von Pischke (1986), “Investment and Finance
in Agricultural Service Cooperatives”, World Bank Technical Paper No.50, April,
Washington, D.C.: the World Bank
UNCTAD (1997), Trade and
Development Report 1997, Geneva:
United Nations Conference on Trade and Development.
UNCTAD (1999), Trade and
Development Report 1999, Geneva:
United Nations Conference on Trade and Development.
Vandeburg, Jennifer M, Joan R. Fulton, Susan Hine, dan Kevin T.
McNamara (2000), “Driving Forces and Success Factors for Mergers, Acquisitions,
Joint Ventures, and Strategic Alliances among Local Cooperatives”, makalah
dalam the NCR-194 Annual Meeting, December 13, Las Vegas, Nevada
Verhagen, K. (1984), Cooperation
for Survival, Amsterdam.
Warman, Marc (1994),
“Cooperative Grain Marketing: Changes, Issues, and Alternatives,” ACS Research
Report 123, April, Washington, D.C.:
United States
Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Whyte, William Foote
dan Kathryn King Whyte (1991), Making Mondragon:
The Growth and Dynamics of the Worker Cooperative Complex, Ithaca, NY:
ILR Press.
Widiyanto (1996), “Profil Keunggulan Bersaing KUD Jatinom”, laporan
penelitian, Semarang:
BPMA-Undip.
Widiyanto, Ibnu (1998),
“Koperasi sebagai Pelaksana Distribusi Barang: Realita dan Tantangan (Sebuah Pendekatan Pragmatis)”, makalah dalam
NETSeminar, “Merancang dan Memelihara Jaringan Distribusi Barang Yang Tangguh Dan Efisien Di Indonesia, 1-5 September, Forum TI-ITS, Semarang.
Wolf, Martin (2004), Why
Globalization Works, New Haven dan London: Yale University
Press.
Young, Linda M. dan Karen M. Huff
(1997), “Free Trade in the Pacific Rim:
On What Basis?”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge
University Press.
Zeuli, Kimberly A dan Robert Cropp (2005),
Cooperatives: Principles and Practices in
the 21st Century, A1457, edisi ke-4, University of Wisconsin,
Madison.
Zuvekas, Clarence, Jr. (1979), Economic Development: An Introduction, New York: St. Martin’s..
Lampiran
Sumber:
Menegkop & UKM
[1] Seminar
Nasional Perkembangan Koperasi di Indonesia: Prospek dan Tantangan, 15 Agustus
2009, Center for Industry, SME & Business Competition Studies/Ilmu Ekonomi,
FE-USAKTI, Jakarta.
[2] Di Inggris, bentuk koperasi-koperasi tradisional
adalah yang disebut 'bona fide co-operative' dibawah undang-undang Industrial and Provident Societies. Namun demikian, sejak tahun 1980an banyak koperasi yang
masuk di dalam Undang-undang perusahaan, yang dibatasi oleh saham-saham atau
oleh garansi. Dalam suatu upaya untuk tetap bisa bertahan, banyak koperasi yang
mengadopsi prinsip dari ‘kepemilikan bersama’, dan suatu saham modal nol atau
nominal, bersama dengan suatu ketentuan yang menetapkan pembubaran altruistik. Ini artinya bahwa
koperasi tidak dapat diakhiri dan aset-asetnya didistribusikan untuk keuntungan
pribadi. Fasilitas untuk ‘mengunci’ secara legal aset-aset dari sebuah koperasi
dengan cara ini mulai diberlakukan pada tahun 2004.
[3] Di AS, kebanyakan koperasi adalah dalam
bentuk perusahaan-perusahaan P.T., tetapi bentuk-bentuk legal lainnya juga
digunakan. Ada banyak koperasi yang juga membayarkan dividen kepada anggota
sesuai saham mereka di koperasi. Untuk koperasi-koperasi yang tidak
mengeluarkan dividen, surplus dikembalikan ke anggota-anggotanya dalam bentuk
bonus atau lainnya sesuai keterlibatan mereka di dalam koperasi.
[4]Lihat misalnya Cummins
(1993) dan Warman (1994).
[5] Hasil lengkapnya (termasuk
makalah-makalah dan/atau power point-
power point dari para pembicara) dari
konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat
dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for
Cooperatives).
[6] Dukungan belanja rumah
tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk
menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan
keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan
yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan
oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
[7] Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui
koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai
kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni
"Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin
bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan
adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan
lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari
kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap
atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit
(Soetrisno, 2001).
[8] Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di
NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai
kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu.
Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun
kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan
kehadiran koperasi. Dengan demikian
koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi
ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang
teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat
kukuh.
[9] Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah
keterbatasan modal yang dialami banyak koperasi untuk mengembangkan usaha
mereka.. Hal ini merupakan salah satu imbas kenaikan harga bahan bakar minyak
tahun 2004 lalu, sehingga anggota koperasi kekurangan modal untuk tabungan.
Penyebab lainnya, pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai pembina
koperasi, dan kebijakan yang digulirkan tidak mendukung pengembangan koperasi
rakyat. Ia memberi contoh, kebijakan pemerintah yang menyebabkan koperasi pasar
tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Menurutnya, perbankan juga
kerap tidak berpihak pada koperasi kecil. Koperasi kecil kerap kesulitan
mendapat pinjaman modal untuk pengembangan usaha.
[10] Namun demikian, menurut
Soetrisno (2001), pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi
sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi.
Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun
pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertikal maupun horizontal. Oleh
karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong
kembalinya pola spesialisasi koperasi..
[11] Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan,
kenapa, menurut data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) setiap tahun
meningkat? Apakah peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan
(demand-pull) atau suatu refleksi
dari tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar