V. TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN
INDONESIA (BAG. 1)
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
a.
Tjuam Umum
Agar mahasiswa
dapat memahami struktur perekonomian dan transformasi struktur perekonomian
Indonesia.
b.
Tujuan Khusus
Agar mahasiswa
dapat menjelaskan :
·
Transformasi struktur perekonomian
·
Proses transformasi struktural dan berbagai
indikatornya
·
Analisis kebijakan transformasi struktural
perekonomian Indonesia
c.
Materi Pembahasan
·
Transformasi struktural perekonomian Indonesia
1.
Teori Perubahan struktur Ekonomi
2.
Profil Perekonomian Indonesia Akhir Pelita V
·
Proses Transformasi Struktur Perekonomian
Indonesia
1.
Proses Akumulasi Sumber Daya Produktif
2.
Proses Alokasi Sumber Daya Produktif
3.
Proses Distribusi Pendapatan
4.
Proses Perubahan Institusional/ Kelembagaan
·
Analisis Kebijakan Transfromasi Struktural
1.
Kebijakan Pengaturan Nilai Tukar Rupiah
2.
Kebijakan Fiskal dan Keuangan Negara
3.
Kebijakan Keuangan dan Moneter/ Perbankan
4.
Kebijakan Perdagangan dan Deregulasi Sektor Riil dan
Moneter
PEMBAHASAN MATERI
A.
TRANSFORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA
1.
Perubahan Struktur Ekonomi
·
Suatu proses pembangunan ekonomi yang cukup lama
dan telah menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi biasanya disusul
dengan suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonominya. Perubahan struktur
ekonomi terjadi akibat perubahan sejumlahf aktor, bisas hanya dari sisi
permintaan agregat, sisi penawran agregat atua dari kedua sisi pada waktu yang
bersamaan (Tulus Tambunan, 1996).
·
Dari sisi permintaan agregat, faktor yang sangat
dominan adalah peningkatan tingkat pendapatan masyarakat rata-rata yang
perubahannya mengakibatkan perubahan dalam selera dan komposisi barang-barang
yang dikonsumsi. Hal ini menggairahkan pertumbuhan industri baru.
·
Dari sisi penawaran agregat, faktor utamanya
adalah perubahan teknologi dan penemuan bahan baku atau material baru untuk
berproduksi, yang semua ini memungkinkan untuk membuat barang-barang baru dan
akibat realokasi dana investasi serta resources utama lainnya dari satu sektor
ke sektor yang lain. Realokasi ini disebabkan oleh kebijakan, terutama
industrialisasi dan perdagangan, dari pemerintah yang memang mengutamakan
pertumbuhan output di sektor-sektor tertentu, misalnya industri (Tulus
Tambunan, 1996).
2.
Profil Perekonomian Indonesia Akhir Pelita V
·
Profil ekonomi memberikan gambaran luar atau
pola garis bentuknya (countour), sedangkan strktur ekonomi menggambarkan bagian
dalamnya (anatomi) suatu perekonomian.
Profil
perekonomian Indonesia menjelang akhir Pelita V ditunjukkan oleh empat segi
yang kait mengkait dalam perkembangan keadaan, yaitu : pertumbuhan ekonomi,
lapangan kerj aproduktif, neraca perdangan dan pembayaran luar negeri, perkembangan
harga dalam negeri (infalsi). Empat segi permasalahan itu sekaligus dijadikan
serangkaian tolok ukur dalam penilaian kita tentang jalannya perekonomian dalam
perjalanan waktu.
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
a.
Pertumbuhan Ekonomi
Ø
Kebijaksanaan deregulasi sejak tahun 1983
mendorong terjadinya ekspansi ekonomi dan ekspansi moneter. Serangkaian
deregulasi mendorong kegitan swasta untuk melakukan ekspansi ekonomi. Sementara
meningkatnya permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun untuk
investasi, mendorong terjadinya ekspansi moneter.
Ø
Ø
Ekspansi ekonomi ditandai oleh :
1)
Meningkatnya lalu pertumbuhan ekonomi (GDP): 7,5%,
7,1%, 6,6%, (1989, 1990, 1991).
2)
Meningkatnya laju pendapatan bruto (GDY): 7,5%, 10,5%,
7,1% (1989, 1990, 1991).
3)
Meningkatnya investasi sektor swasta): 15,0%, 17,0%
(1989, 1990).
Ø
Ekspansi moneter ditandai oleh :
1)
Meningkatnya jumlah uang beredar (M2): 40%, 44%, 7,1%
(1989, 1990).
2)
Meningkatnya volume kredit bank: 48%, 54% (1989, 1990).
3)
Meningkatnya laju inflasi: 5,5%, 9,5% (1989, 1990).
Ø
Ekonomi terlalu panas (overheated)
Ekspansi
ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama tiga tahun
berturut-turut dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan
keuangan moneter. Bila hal ini dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan
kestabilan harga dalam negeri dan melemahkan neraca pembayara luar negeri.
Karena itu pemerintah melakukan kebijaksanaan uang ketat (TMP = Tigh Money
Policy)
Ø
Kebijaksanaan Uang Ketat (TMP) meliputi :
1)
Kebijaksanaan fiskal/ keuangan negara
-
Meningkatkan penerimaan pajak untuk tahun fiskal
1991/1992 dan 1992/1993.
-
Penerimaan dari sektor non-migas dapat melebihi
sasarannya, sehingga tahun fiskal 1991/1992 secara riil tercapai surplus pada
anggaran negara.
2)
Kebijaksanaan Moneter/ Perbankan
-
Melakukan politik diskonto (suku bunga) dan open market
operation melalui SBI, untukmembatasi kredit perbankan.
-
Mengawasi nisbah likuiditas bank terhadap volume kredit
(LDR : Loan to Deposit Ratio), dan nisbah kekuatan modal bank (CAR = Capital
Adeuqcy Ratio).
-
Dampak dari TMP adalah menurunnya pertumbuhan ekonomi
pada tahun 1991 menjadi 6,6% di samping karena musim kemarau yang panjang.
b.
Neraca Pembayaran Luar Negeri
Neraca
Perdagangan dan pembayaran luar negeri menunjukkan perkembangan yang perlu terus
diamati dan diawasi dengan seksama, khususnya yang menyangkut transaksi
berjalan.
1)
Neraca Perdagangan dan Neraca Jasa
Ø
Laju pertumbuhan ekspor rata-rata 15%
(1989-1991) dengan nilai US$19 miliar (1988) meningkat hampir US$30 miliar
(1991), jenisnya : 52% barang manufaktur, 37% migas dan non-migas 11% (ada
diversifikasi ekspor).
Ø
Laju pertumbuhan impor rata-rata 25% (1988 –
1991), jenisnya: sebagian besar berupa peralatan barang modal dan bahan baku.
Ø
Meskipun laju pertumbuhan impor lebih besar dari
pada laju pertumbuhan ekspor, namun total nilai ekspor masih lebih besar
dibandingkan impor, sehingga masih menghasilkan saldo surplus (positif). Akan
tetapi neraca jasa, terutama karena bearnya beban pembayaran jasa pemakaian
modal (bunga hutang luar negeri) selalu menghasilkan saldo defisit (negatif).
Akibatnya transkasi berjalan selalu mengalami defisit, yang cenderung makin
besar: US$1,6 miliar (1989), membengkak menjadi US$4,5 miliar (1992).
2)
Neraca Modal dan Cadangan Devisa
Ø
Neraca Modal mencatat perhitungan transaksi lalu
lintas modal (pemasukan dan pengeluaran modal atau devisa). Oleh pemerintah
selalu diusahakan agar neraca modal ini menghasilkan saldo surplus (positif)
untuk menutup defisit transaksi berjalan.
Ø
Selama periode yang sama (1992) defisit transaksi
berjalan dapat diimbangi oleh pemasukan modal (pinjamanluar negeri pulsu
investasi langsung) sebesar US$5,6 miliar setahun. Hal itu juga menambah
cadangan devisa.
Ø
Jumlah cadangan devisa yang langsung dikuasai
oleh Bank Indonesia meningkat dari US$ 6,6 miliar (1989) menjadi US$11,5
miliar. Bila ikut diperhitungkan jumlah devisa yang berada di bank-bank di luar
bank Sentral, dan ditambah dengtan stand-by loans, maka kekuatan cadangan
devisa secara nasional adalah sekitar US$15 miliar (cukup untuk pembiayaan
selama enam bulan).
3)
Pinjaman Luar Negeri
Ø
Pinjaman jangka panjang dengan persyaratan lunak
menjadi semakin sulit, sedangkan pinjaman komersial menghadapi persyaratan yang
semakin berat.
Ø
Khusus mengenai Indonesia sudah nampak sikap
was-was di kalangan keuangan internasional. Sikap seperti itu ada sangkut
pautnya dengan defisit transaksi berjalan yang akhir-akhir ini begitu meningkat
dan juga semakin membesarnya utang luar negeri kita.
Ø
Utang luar negeri Indonesia pada akhir tahun
1992 secara kumulatif diperkirakan berjumlah US$78 miliar, meningkat hampir 40%
dibandingkan 2-3 tahun yang lalu. Jumlah 78 miliar itu terdiri : pinjaman
sektor publik (pemerintah + BUMN) sebesar 45 miliar dollar.
Ø
Debt Service Ratio (DSR), berdasarkan nilai
ekspor bruto untuk tahun 1992 mencapai 32%, tingkat DSR sebesar 32%
sudahmerupakan “Lampu Merah” (DSR : 20-25% = aman atau “Lampu Hijau”, 26-30% =
“Lampu kuning”). Pinjaman swasta justru sangat meningkat selama tahun-tahun
ekspansi ekonomi (1989-1991).
Ø
Sehubungan dengan kecenderungan utang luar
negeri yang mengancam stabilitas eksternal, maka pemerintah melakukan
pengawasan dan pembatasan terhadap pinjaman komersial luar negeri (Keppres No.
39 Tahun 1991). Oleh tim dibawah Menko Ekuin :
- Dilakukan
penyaringan dan penilaian prioritas
- Ditetapkan
suatu pagu tahunan pinjaman komersial luar negeri
c.
Masalah Kesempatan Kerja
·
Keadaan sekarang beban tanggungan (dependency
burden) bagi tiap tenaga kerja produktif (bekerja 35 jam seminggu) cukup berat,
yaitu 1 : 4, artinya 4 orang penduduk kebutuhan hidupnya tergantung
(ditanggung) oleh 1 orang tenaga kerja produktif.
·
Hal itu mencerminkan masih besarnya tingkat
pengangguran secara terselubung (underemployment) dan gejala low quality
employment maupun pengangguran terbuka (open unemployment) di kota-kota besar,
khususnya golongan angkatan kerja yang berusia muda (15-25 tahun).
·
Beban tanggungan tahun 1990
-
Jumlah Penduduk Indonesia : 179 juta jiwa
-
Jumlah Angkatan Kerja : 72 juta jiwa
-
Angkatan Kerja yang produktif : 44 juta jiwa
Jadi beban
tanggungan menjadi 179:44 = 4 (atau 1 : 4)
d.
Perkembangan Harga
·
Laju Inflasi 9,5% (1990,1991) turun sampai 6-7%
(1992). Kebijaksanaan pengendalian inflasi perlu diteruskan sehingga dapat
dicapai rata-rata 5% pada Pelita VI.
·
Pengendalian Inflasi Penting untuk :
1)
Menjaga stabilitas ekonomi internal dan eksternal
(tekanan neraca pembayaran luar negeri)
2)
Memperkuat daya saing produk ekspor di luar negeri
3)
Mendorong hasrat masyarakat untuk menabung
B. PROSES TRANSFORMASI STRUKTUR PEREKONOMIAN
INDONESIA
Perkembangan
ekonomi Indonesia selama masa 25 tahun berselang diteroping dari sudut pandang
tentang pembangunan ekonomi sebagai proses transisi yang dalam perjalanan waktu
ditandai oleh transformasi multidimensional dan menyangkut perubahan pada struktur
ekonomi. Akan ditinjau beberapa pokok dalam perubahan struktur selama lima
tahap Pelita (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I).
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
1.
Proses Akumulasi Sumber Daya Produksi
·
Sumber dayaproduksi adalah aset-aset produktif atau
faktor-faktor produksi (Tanah, tenaga kerja, kapital produksi (output)
diperlukan peningkatan atau tambahan faktor-faktor produksi (input).
·
Akumulasi menyangkut proses pembinaan sumber
daya produksi (produktive resources) untuk meningkatkan kemampuan berproduksi
secara kontinu. Selama masa pembangunan 25 tahun telah terjadi akumulasi sumber
daya produksi dalam jumlah yang besar dan sangat berarti.
·
Indikator adanya akumulasi sumber daya produksi
:
1)
Produk domestik bruto (PDB, GDP) secara riil meningkat
4 kali lipat. Tingkat hidup rata-rata (GDP per kapita) meningkat 2,5 kali
lipat.
2)
Keberhasilan penyediaan pangan : Pelita I sebagai
negara pengimpor beras terbesar, sedangkan akhir Pelita III sudah mencapai swasembada beras.
3)
Keberhasilan melaksanakan Program Keluarga Berencana
(KB) : dari Pelita I – Pelita V (25 tahun) tingkat pertambahan penduduk turun
dari 2,5% menjadi 1,7%.
4)
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan trend meningkat:
meskipun lajunya mengalami siklus naik-turun. Secara rata-rata diperkirakan
masih 6,8% setahun.
5)
Investasi rata-rata per tahun meningkat: dalam Pelita I
rata-rata 15% (dari PDB), sedang dalam Pelita V rata-rata mencapai 33%.
·
Kelemahan/ kekurangan yang menyertai proses
akumulasi :
1)
Pelaksanaan Investasi modal kurang efisien dan efektif :
nisbah tambahan investasi terhadap
tambahan hasil (ICOR = Incremental
Capital Output Ratio) selama 10 tahun (1984-1993) angkanya terlalu besar,
yaitu 5 (investasi rata-rata 33,4%, laju pertumbuhan ekonomi 6,8% sehingga ICOR
= 33,4 : 6,8 = 4,9 atau dibulatkan 5).
Ø
Memang benar bahwa dalam proses pembangunan
investasi untuk infrastruktur bersifat slow vielding dan low vielding, tetapi
sebagian pemborosan karena kelemahan teknis dalam perencanaan, penyelenggaraan
dan perawatan proyek-proyek investasi serta kelemahan institusional
(organisasi) seperti penyimpangan, penyelewenanga. Jadi inefisiensi karena
terjadinya mismanagement
2)
Terjadi saving-investment gap
Besarnya
investasi tidak diimbangi oleh tabungan nasional yang memadai, tingkat
investasi melampaui tingkat tabungan. Selama Pelita V tingkat investasi 33,4%,
sedangkan tingkat tabungan nasional hanya 29,9% (dari PN).
Ø
Kekurangan dana untuk investasi sebesar 3,5%
(33,4% - 29,9%) harus ditutup dengan
pemasukan modal dari luar negeri.
Ø
Masalah di atas menunjukkan pentingnya usaha
untuk meningkatkan tabungan nasional dengan disertai upaya untuk menurunkan
angka ICOR.
3)
Adanya Perbedaan laju pertumbuhan sektor pertanian dan
laju pertumbuhan sektor industri
Secara
menyeluruh laju pertumbuhan ekonomi selama Pelita V mencapai 6,8 per tahun,
dimana laju pertumbuhan sektor pertanian hanya 2,7% per tahun, sedangkan laju
pertumbuhan sektor industri mencapai 11% per tahun.
Ø
Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas dan
pendapatan riil di sektor industri lebih besar sekitar 4 kali lipat daripada
sektor pertanian.
Ø
Tanpa intervensi aktif dari pihak kebijaksanaan
negara, ketimpangan itu cenderung berlangsung terus, bahkan akan menjadi
semakin besar.
2.
Proses Alokasi Ssumber Daya Produksi
·
Sumber daya produksi khususnya investasi sangat
penting bagi pembangunan baik secara kuantitatif (menyangkut jumlahnya) maupun
secara kualitatif (menyangkut alokasinya).
·
Alokasi sumber dayaproduksi dalam proses
pembangunan menyangkut pola penggunaan sumber daya produksi antar sektor, antar
daerah dan antar lingkungan kota dan daerah pedesaan. Selama PJPT I telah
terjadi perubahan struktural di bidang produksi dan perdagangan, namun mengenai
k esempatan kerja tetap statis.
a.
Struktur Produksi : Pelita I (1969-1973) sektor
pertanian menyumbang 44%, sektor industri 9%. Menjelang akhir Pelita V
(1989-1993) sektor pertanian menyumbang 19%, sedang sektor industri sudah 20%.
Dari sudut peranan industri, Indonesia memasuki kategori negara semi industri.
b.
Struktur Perdagangan, dilihat dari jenis komoditi dan
sumbangannya terhadap nilai ekspor : Akhir Pelita I (1973) sumbangan minak dan
gas bumi (Migas) sebesar 75%, sumbangan sektor di luar migas (non migas)
sebesar 25%. Pada akhir Pelita V (1993) terjadi perubahan perimbangan, yaitu
dari sektor migas 34%, sedang dari sektor non migas meningkat 66%.
-
Terjadi proses diversifikasi di bidang produksi dan
perdaganagn : Akhir Pelita V sumbangan sektor non-migas (66%) terdiri dari :
71% produk industri, 15% produk pertanian dan 4% hasil pertambangan.
c.
Perkembangan Kesempatan Kerja : selama 25 tahun
struktur dan sifat kesempatan kerja masih tetap statis :
Pelita I Pelita V
(1970) (1992)
Sektor
Pertanian :
-
Sumbangan Produksi 44% 18%
-
Daya Serap Kerja 56% 47%
Sektor Industri
:
-
Sumbangan produksi 11% 21%
-
Daya Serap Kerja 9% 12%
Ø
Jadi struktur lapangan kerja tidak banyak
mengalami perubahan (relatif statis), yakni masih tertumppu pada sektor
pertanian. Sebab sumbangan produksi yang mengalami penurunan 26%, hanya diikuti
penurunan kesempatan kerja 9%. Sebaliknya sumbanga produksi sektor industri
yang meningkat 10%, hanya diikuti pertambahan kesempatan kerja 3%.
Ø
Ketidakserasian antara perubahan struktur
produksi dan struktur Lapangan kerja itu ada kaitannya dengan sifat khas yang
melekat pada perekonomian Indonesia (negara berkembang), yaitu :
1)
Permintaan tenaga
meningkat lebih cepat dikawasan perkotaan
2)
Mobilitas tenaga kerja antar sektor kurang lancar
3)
Tidak akses yang sama untuk mendapatkann modal berupa
dana atau tanah yang baik
4)
Investasi dan penerapan teknologi diutamakan di bidang
modern pada masing-masing sektor
5)
Laju pertambahan penduduk melampaui tingkat permintaan
tenaga kerja.
Ø
Keadaan seperti di atas menyebabkan di antara
sektor pertanian dan sektor industri terjadi perbedaann dan ketimpangan dalam :
laju pertumbuhan, tingkat produktivitasnya dan tingkat pendapatan riilnya.
LAMPIRAN TABEL
Tabel A.2.a-b. Ikhtisar Singkat Perekonomian Indonesia
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2001
|
Laju pertumbuhan GDP %
Laju pendapatan GDY %
Transaksi berjalan (US$miliar)
Pemasukan Modal Neto
(US$miliar)
Cadangan Devisa BI (US$miliar)
Laju Inflasi, IHK%
Debt service Ratoi %
(Pemerintah Swasta)
|
2,5
2,3
-1,8
n.a
5,8
4,3
25,3
|
5,8
2,1
-1,9
2,6
6,2
5,5
34,4
|
7,1
10,5
-3,7
6,8
8,7
9,5
30,1
|
6,6
7,1
-4,4
5,6
9,9
9,5
30,1
|
6,0
6,0
-4,5
4,4
11,3
6,7
31,97
|
Sumber : Center for Policy
Studies (CPS), Jakarat (Soemitro Djojohadikusumo, 1993).
PEREKONOMIANN INDONESIA
Munawir, SE
POKOK BAHASAN :
V. ORMASI STRUKTURAL PEREKONOMIAN INDONESIA (BAGIAN 2)
3.
Proses Distribusi Pendapatan
·
Ketimpangan dalam distribusi pendapatan (baik
antar kelompok berpendapatan, antar daerah perkotaan dan pededaan, atau antar
kawasan dan propinsi) dan kemiskinan merupakan dua masalah yang masih mewarnai
perekonomian Indonesia.
·
Pada awal pemerintahan Orde Baru, perencanaan
pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa yang dimaksud
dengan trickle down effect akan terjadi: namun setelah sepuluh tahun sejak
Pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu mungkin tidak
tepat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalirnya ke bawahnya
sangat lambahn. (Tulus Tambunan, 1996).
·
Masalah distribusi pendapatan menyangkut
kemiskinan, baik kemiskinan absolut maupun ktimpangan relatif. Distribusi
pendapatan dan kemiskinan hendaknya dilihat dalam kerangka acuan suatu
analisis, bersamaan dan berkaitan dengan proses akumulasi dan alokasi. Dengan
kata lain, akumulasi, alokasi dan distribusi harus dilihat dalam saling keterkaitannya
dan dalam kerangka acuan yang kencakup dinamika dalam proses transformasi
secara menyeluruh selama masa transisi.
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
a.
Kemiskinan Absu\olut
Ø
Tahun 1976: jumlah penduduk 137 juta jiwa, 54
juta jiwa (40%) hidup di bawah garis kemiskinan. Tahun 1990 : jumlah penduduk
179 juta jiwa, yang hidup di bawah garis kemiskinan tinggal 27 juta jiwa
(15,%). Kecenderungan kearah perbaikan itu diharapkan dapat berlangsung terus
sehingga ditahun 2000 golongan yang dhiup di bawah garis kemiskinan mencakup
5-10% dari jumlah penduduk saat itu.
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
Ø
Masalah kemiskinan ini diperlihatkan melalui
analisa sensivitas,yaitu apabila poverty line (garis batas kemiskinan) dirubah
dari konsumsi per hari Rp 930 untuk kota dan Rp 608 untuk desa menjadi RP 1.000
maka jumlah orang miskin akan meningkat dari 25,6 juta (1993) menajdi 77 juta.
Itu berarti terdapat indikasi bahwa walaupun jumlah penduduk di bawah poverty
line turun dari 27 juta (1990) ke 25,5 juta (1993), penduduk yang hidup dalam
kondisi nyaris miskin atau hidup pada poverty line di 1993 makin banyak
(Sjahrir, 1996).
b.
Ketimpangan Relatif
·
Tahun 1976: 40% dari jumlah penduduk yang
termasuk golongan berpendapatan rendah hanya menerima kurang dari 12% dari
pendapatan nasional, yang menunjukkan ketimpangan mencolok (gross inequality).
Tahun 1990 : golongan berpendapatan rendah yang dimaksud menerima 21% lebih
dari pendapatan nasional yang berarti ketimpangan menjadi lumayan kecil (low
inequality).
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
·
Menarik disini melihat bahwa 77 juta (yang
nyaris miskin) itu meliputi 67 juta manusia
yang hidup di desa dan 10 juta yang hidup di kota. Pandangan Michael
Lipton (176) bahwa : konflik kelas yang paling penting di negara msikin di
udnia kini bukanlah antara buruh dan modal, juga bukan antara kepentingan asing
dan nasional. Konflik yang paling penting justru antara kelas pedesaan dan
kelas kota. (Sjahrir, 1996).
·
Sekarang ini tingkat pendapatan rata-rata per
kapita di Indonesia sudah jauhlebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang
lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika hanya 10% saja dari jumlah
penduduk ditanah air yang menikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedang
sisanya (90%) hanya menikmati 10% dari pendapatan nasional atau kenaikan
pendapatan nasional selama ini hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut.
jadi, dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil
sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan
kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil (Tulus Tambunan, 1996).
·
Disisi berlaku satu kaidah dalam statistik yang
disebut the importance of being
unimportant. Artinya ada satu kelompok yang jumlhanya sangat kecil tetapi
berpendapatan sangat tinggi, yang mengakibatkan tertariknya angka konsumsi
rata-rata ketingkat 82.226 ruiah (1993), walauun lebih dari 82% penduduk
sebenarnya berpendapatan di bawah Rp 60.000 per bulan per kapita (Sjahrir,
1996).
4.
Proses Perubahan
Institusional/ Kelembagaan
Kesenjangan mengandung
dimensi ekonomis-sosiologis dan dimensi ekonomis-regional :
a.
Dimensi Ekonomis – Sosiologis :
·
Ini menyangkut ketimpangan pada perimbangan
kekuatan di antara golongan-golongan pelaku ekonomi, yaitu secara spesifik:
antara saudagar besar di bidang niaga dan industri, golongan pedagang perantara
(tengkulak) dan golongan produsen kecil (petani rakyat, pengrajin, pengusaha
industri kecil/ menengah, pedagang eceran).
·
Golongan produsen kecil/ menengah meliputi
sebagian besar rakyat penduduk sebagai produsen dan sekaligus sebagai konsumen.
Kedudukan ekonominya sangat lemah dihadapkan dengan kekuatan saudagar besar dan para pedagang perantara dala
jaringan mata rantai niaga dan industri.
·
Salah satu sasaran pokok kebijaksanaan
pembangunan ialah mewujudkan perubahan struktural di bidang ekonomi-sosiologis
dalam arti: transformasi dari ketimpangan menjadi keseimbangan di antara
kekuatan-kekuatan golongan saudagar besar, golongan pedagang perarntara,
golongan produsen kecil. Kepentingan produsen-kecil dan menengah itu ada di
bidang pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan maupun di bidang perindustrian, pengangkutan dan
perdagangan.
·
Kesempatan usaha lebih banyak dimanfaatkan oleh
kaum saudagar dengan konglomeratnya. Hal ini cenderung menambah lagi pemusatan
kekayaan dan kekuatan ekonomi yang pada gilirannya mengganggu pembagian
pendapatan secara lebih merata.
·
Dalam hubungan dengan ketimpangan pada perimbangan kekuatan pelaku
ekonomi harus dilihat peran gerakan koperasi sebagai alat perjuangan ekonoi
bagi kaum produsen kecil. Pengembangan koperasi harus dilakukan melalui dua
jalur utama yang saling berkaitan :
1)
Pendidikan tentang falsafah dan jiwa koperasi dengan
mengadakan latihan ketrampilan dan keahlian tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan usaha koperasi.
2)
Penyediaan sarana produksi berupa dana dan peralatan,
antara lain melalui suatu Badan Investasi untuk koperasi yang dapat beperan
semacam investment trust khusus untuk
pembinaan koperasi primer.
b.
Dimensi Ekonomis Regional
Dalam kaitan
ketidakseimbangan perekonomian antar daerah, kita dihadapkan dengan suatu
dilema yang disebut dualisme teknologis. Dilema dualisme teknologis ini
ditunjukkan oleh gejala :
1)
Adanya perbedaan dan ketimpangan pola dan laju
pertumbuhan di antara berbagai kawasan dalam batas suatu nwegara (atau secara
regional dan internasional di berbagai belahan dunia)
2)
Perbedaan tersebut tidak semakin berkurang, melainkan
cenderung menjadi semakin besar.
3)
Kesemuanya itu disebabkan karena adanya apa yang
dikenal sebagai cumulative causation,
yaitu proses sebab-akibat yang mengandung dampak secara kumulatif.
4)
Kalau hal itu dibiarkan tanpa intervensi kebijaksanaan
negara, maka perkembangan proses cumulative causation selanjutnya akan
menciptakan dua lingkaran kegiatan sekaligus :
-
Lingkaran kegiatan yang semakin bermanfaat (various circle) bagi kawasan yang sudah
maju.
-
Lingkaran setan/ yang banyak membawa mudarat (vacious circle) bagi kawasan yang
ketinggalan.
Sehingga
daerah yang kaya semakin kaya sedang
yang miskin semakin miskin, karena adanya cumulative causation itu menyebabkan
virtuous circle bisa berlangsung terus berdampingan dengan vircious circle
-
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, dilema
dualisme teknologi menonjol karena adanya asimetri (ketidakserasian) antara lokas penduduk dan
lokasi sumber daya alam. Sebagian besar penduduk terpusat di Pulau Jawa,
sedangkan kebanyakan sumber alam tgerletak di kepulauan yang lain. Sehingga
timbul kecenderungan di Pulau Jawa berkembang industri yang didasarkan atas
peranan tenaga kerja (Iabour-based industries), sedang di luar jawa berkembang
industri yang berdasarkan pengembangan sumber daya alam
(resource-basedinsutries) yang bersifat padat modal dengan penggunaan teknologi
maju.
-
Kini yang menonjok ketidakseimbangan ekonoim
antara bagian Barat dan Bagian Timur
dalam wilayah kepulauan tanah airkita. Ketidakseimbangan ekonoim antar daerah
harus dapat ditanggulangi dengan peningkatan perhubungan antar pulau dan
pelayaran pantai beserta prasarananya.
-
Kini nampak pentingnya pengembangan agro-based industries yaitu pengembangan
industri pengolahan di luar Jawa bagi bahan pertanian dalam arti luas
(perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, hotkultura).
Agro-industry
ini memegang peranan strategis dalam menjembatani dualisme teknologis sebab
memenuhi 4 persyaratan yang penting :
1)
Penggunaan bahan setempat yang melimpah
2)
Menciptakan lapangan kerja produktif
3)
Memberikan nilai tambah
4)
Menambah penerimaan devisa bagi negara
(Soemitro
Djojohadikusumo, 1993)
-
Sektor agrobisnis terdiri atas 4 subsistem:
1)
Subsistem agrobisnis hulu
Kegiatan
yang menghasilkan sarana produksi
pertanian primer (benih, pupuk, pestisida dan lain-lain)
2)
Subsistem usaha tani
Menggunakan
sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditi pertanian primer.
3)
Subsistem agrobisnis hilir
Kegiatan
ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan serta
melakukan perdagangan.
4)
Subsistem penunjang (supporting institutions)
Kegiatan yang
menyediakan jasa yang dibutuhkan sektor agrobisnis (perbankan, infrastruktur,
transportasi, litbang dan kebijaksanaan pemerintah).
-
Pertanian mendapat prioritas pada tahap awal
pembangunan terutama dalam peranannya sebagai penyedia pangan yang cukup. Akan
tetapi setelah swasembada pangan yang cukup. Akan tetapi setelah swasembada
pangan dicapai pada tahun 1984, kebijakan pembangunan ekonomi lebih
diarahkan kepada “broad based and
hi-tech industry”. Inilah awal dari kurang keberpindahan kepada pertanian dan
agrobisnis pada umumnya.
(Saragih, 1998,
dikutip Anna S.N Dasril, 1998)
C. ANALISIS KEBIJAKAN TRANSFORMASI STRUKTURAL
·
Program penyesuaian ekonomi struktural dan
reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga
minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat kategori
besar, yaitu (1) Pengaturan nilai tukar rupiah (excahge rate menagement), (2)
Kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan, (4) kebijakan perdagangan
dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. Reformasi ekonomi di
Indonesia di awali dengan devaluasi pertama pada tahun 1983 dan kedua pada
tahun 1986 dengan tujuan meningkatkan volume ekspor manufaktur. Hasilnya memang
positif, dari 3.184 miliar dolar AS pada tahun 1986 menjadi 5.021 miliar dolar
AS. Sejak perubahan strategi dari SI (substitusi impor) ke promosi ekspor (PE)
diperkuat dengan devaluasi, ada tanda-tanda bahwa ekspor manufaktur Indonesia
akan meningkat terus. Dilihat dalam periode 12 tahun, dari tahun 1980 hingga
tahun 1992, nilai ekspor komoditas pertanian dibandingkan PDB menunjukkan trend
menurun walaupun ada fluktuasi selaam periode tersebut.
(dikutip dari
beberapa sumber oleh Tulus Tambunan, 1996).
·
Lihat Gambar (Tulus Tambunan, 1996)
Gambar 2.2
Pertumbuhan Pangsa Ekspor Manufaktur
(Sebagai Persentase dari PDB) di Indonesia,
1980-1992
1.
Kebijakan Pengaturan Nilai Tukar Rupiah
·
Dalam tahun 1986/1987 pemerintah tetap menganut
sistem devisa bebas yang diperlukan guna mendorong kegiatan invstasi yang
diperlukann guna mendorong kegiatan investasi, produksi dalam negeri dan ekspor.
Selain itu, dengan pengelolaan nilai tukar yang mengambang terkendali,
pemerintah tetap berusaha agar perkembangan nilai tukar rupiah selalu
mencerminkan perkembangan yang realistis untuk mempertahankan daya saing barang
ekspor serta memelihara kepercayaan masyarakat terhadap rupiah yang pada
gilirannya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian secara
keseluruhan.
·
Mengingat penerimaan devisa hasil ekspor yang
semakin menurun sebagai akibat merosotnya harga minyak bumi sejak permulaan
tahun 1986 dan untuk mengurangi tekanan terhadap nerraca pembayaran, pemerintah
pada 12 September 1986 mendevaluasikan rupiah terhadap dollar AS sebesar 31%.
Tindakan tersebut disamping dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing barang
ekspor non migas dan menciptakan iklim usaha
yang lebih menarik bagi penanaman modal, juga sekaligus untuk mencegah
terjadinya aliran modal ke luar negeri.
(Laporan Bank
Indonesia Tahun 1986/1987).
2.
Kebijakan Fiskal dan Keuangan Negara
·
Dalam rangka
meningkatkan penerimaan dalam negeri yang sekaligus dapat mendorong
kegiatan dunia usaha, tahun 1983/1984 pemerintah memperbarui sistsem perpajakan
yang berlaku selama ini. Sistem perpajakan yang baru tersebut terdiri dari :
1)
UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
No. 6 Tahun 1983).
2)
UU tentang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983).
3)
UU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak penjualan atas Barang Mewah (UU No.8 Tahun 1983).
·
Dalam tahun 1983/1984 penerimaan pajak langsung
naik 15,9%, pajak pendapatan naik 38,1%, pajak perseroan naik 12,3%, lain-lain
pajak langsung naik 30,2%.
Sedangkan
penerimaan pajak tidak langsung naik 17,0%: bea masuk naik 6,7%, pajak
penjualann impor naik 10,8%, cukai naik 24,7%, pajak ekspor naik 26,8%, pajak
tidak langsung lainnya naik 7,3%.
·
Kebijaksanaan pengeluaran pemerintah tahun
1983/1984 diarahkan untuk penghematan pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan berupa pengurangan subsidi BBM, subsidi pupuk dan penghapusan
subsidi pangan serta penjadwalan kembali beberapa proyek besar pemerintah
(Laporan Bank Indonesia tahun 1983/1984).
3.
Kebijakan Keuangan dan Moneter/ Perbankan
·
Tanggal 1 Juni 1983 pemerintah mengambil
serangkaian kebijaksanaan yang mendasar yang dikenal “Kebijaksanaan Moneter 1
Juni 1983”. Kebijaksanaan moneter tersebut dimaksudkan untuk meletakkan
landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan perbankan yang lebih sehat di
masa mendatang. Ciri pokok kebijaksanaan tersebut: Deregulasi di bidang
perbankan baik yang menyangkut perkreditan maupun pengerahan dana:
1)
Bank-bank pemerintah diberi kebebasan penentuan sendiri
suku bunga depositi maupun bunga pinjaman (kecuali kredit berprioritas tinggi).
Disamping itu, pungutan pajak atas bunga, deviden dan royalty (PBDR) atas
penerimaan bunga deposito valas dihapuskan.
Kebijakan ini
untuk mendorong penghimpunan dana dari masyarakat.
2)
Bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia mulai
dikurangi.
Kebijakan ini
untuk mengurangi beban keuangan negara, karena merosotnya penerimaan negara
dari sumber migas.
3)
Pagu kredit dan sebagian besar ketentuan pemberian
pinjaman dihapus.
Kebijakan ini
sebagai instrumen moneter untuk menghambat perkembangan uang beredar. Sekarang
diganti dengan instrumen moneter tidak langsung: penentuan cadangan wajib,
operasi pasar terbuka, fasilitas diskonto dan “moral Suasion”.
4)
Sejak 1 Februari 1984 Bank Indonesia menerbitkan SBI
(Sertifikat Bank Indonesia) dan menyediakan fasilitas diskonto.
·
Dengan SBI ini bank dapat memanfaatkannya untuk
menanamkan kelebihan sementara likuiditasnya sebelum dipinjamkan kepada
nasabah.
·
Fasilitas diksonto merupakan bantuan dari Bank
Sentral sebagai “lender of last resort”, yaitu upaya terakhir bank-bank dalam
hal bank-bank tersebut mengalami kesulitan dana yang bersifat sementara.
(Laporan Bank
Indonesia tahun 1983/1984)
4.
Kebijakan Perdagangan dan Deregulasi Sektor Riil dan
Moneter
a.
Kebijakan Perdagangan
1)
Sejak 19 Desember 1984, APE (Angka Pengenal Ekspor,
atau APES (Angka Pengenal Ekspor Sementara) dapat digunakan untuk melaksanakan
ekspor dari seluruh wilayah RI yang sebellumnya hanya terbatas pada
wilayah-wilayah tertentu saja.
2)
Bulan April 1985 dikeluarkan Instruksi Presiden No. 4
Tahun 1985 (dikenal Inpres No. 4/ 1985) tentang penyederhanaan arus barang di
pelabuhan untuk menunjang kegiatan ekonomi khususnya untuk mendorong
peningkatan ekspor non-migas.
Kebijaksanaan
ini merupakan awal deregulasi di bidang perdagangan yang menyangkut perombakan
dan penyederahanaan tata laksana ekspor, pelayaran antar pulau, pengurusan
barang dan dokumen, keagenan umum perusahaan pelayaran, dan tata laksana
operasional.
3)
Untuk mendorong ekspor non migas pada tahun-tahun
berikutnya, pemerintah menetapkan serangkaian kebijaksanaan penyelematan,
antara lain paket 6 mei 1986 (dikenal Pakem 1986) yang intinya untuk
meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor nonn-migas dan beberapa
kemudahan dalam penanaman modal asing.
(Rustian
Kamaluddin, 1989)
b.
Deregulasi Sektor Riil dan Moneter
·
Dewasa ini di bidang ekonomi riil (produksi,
pengangkutan, pemasaran) masih dialami banyak hambatan dan rintangan karena
adanya berbagai peraturan dan ketentuan administratif yang berbelit-belit dan
sering tumpang tindih. Hal itu menjadi sumber distorsi dalam proses
perekonomian dan belakangan ada ketentuan-ketentuan baru yang berakibat
bertambahnya berbagai rupa monopoli. Pengaturan niaga yang menciptakan monopoli/ monopsoni kini juga dilakukan oleh beberapa pemerintah
daerah.
·
Disisi lain bila diamati seolah-olah pemerintah
ragu-ragu untuk melakukan intervensi, dikala dan dimana intervensi pemerintah
justru di perlukan. Terjadi kekaburan pikiran seakan-akan deregulasi juga
berarti nonintervensi. Deregulasi bersangkut-paut dengan meniadakan segala
peraturan dan ketentuan yang mengganggu perkembangan ekonomi dan menambah beban
bagi ekonomi masyarakat.
·
Sistem ekonomi yang berorientasi pasar
sekali-kali tidak boleh menjurus pada sistem ekonomi yang ditandai oleh
dominasi pasar. Menyerahkan proses ekonomi selaluruhnya kepada
kekuatan-kekuatan pasar berarti menyerahkannya pada pihak dan golongan yang
karena kekuatan ekonominya dapat menguasai pasar yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, intervensi negara teap penting dan tetap diperlukan.
·
Masalahnya, intervensi dengan cara apa dan
bagaimana, di bidang mana dan untuk kepentingan siapa dan golongan yang mana.
(Soemitro Djojohadikusumo,
1993).
BAHAN BACAAN
Tambuinan,
Tulus. T.H. (1996). Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Djojohadikusumo, Soemitro (1993), Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan
dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
Dasril, Anna S.N. (1998), “peranan Agrobisnis dalam Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat”, Makalah pada Seminar Pemulihan Hak dan Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat, dalam rangka Dies Natalis USAKTI ke 33, Jakarta.
Sjahrair (1996), “Kemiskinan, Keadilan dan Kebebasan”, Makalah
pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ke-13, Medan.
Kamaluddin, Rustian (1989), Beberapa Aspek Perkembangan Ekonomi
Nasional dan Internasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Laporan Tahunan Bank Indonesia 1983/1984
Laporan Tahunan Bank Indonesia 1986/1987
Dosen
Pengasuh,
Perekonoiman
Indonesia
Munawir,
SE
@Dimas,
BalasHapusIni adalah catatan softcopy kami.
Share untuk siapa saja.
Copy paste untuk siapa saja.
Tapi tolong cek dan ricek juga ya.
:)
Terima kasih juga.
makasih artikelnya :)
BalasHapusmaksih bro nih berguna banget :)
BalasHapusmenurut penulis, bagaimana tentang transformasi tersebut ?
BalasHapusSudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan,mungkin lebih dari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa garut,sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali ,namun tidak satupun berhasil, niat mendapat uang dengan jalan pintas namun yang ada malah kehabisan uang hingga puluhan juta, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website dari KI SULTAN AGUNG sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya disuruh yakin dan melaksanakan apa yang di sampaikan KI SULTAN AGUNG, semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari alhamdulilah akhirnya KI SULTAN AGUNG membantu saya pesugihan dana gaib 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di JOGJA, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi KI SULTAN AGUNG di 085242892678 atau kunjungi websitenya agar lebih di mengerti www.rajauanggaib.com tidak lansung datang ke jawa juga bisa, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. alhamdulillah hasilnya sama baik
BalasHapus