II. SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA (BAGIAN 3)
(II) MASA
PEMBANGUNAN EKONOMI (1983 – 1987)
A.
MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
-
Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 –
1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun
berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian
Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak)
-
Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya
harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi
(pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
a.
Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya
harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan
masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas
menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya
harga minyak :
1)
Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi
US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta
(1986/1987).
2)
Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888
juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta
menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
3)
Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp
2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp
3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777
triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak
proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI
tahun yang bersangkutan).
b.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil
Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV
(1986/1987).
Kebijaksanaan
tahun 1983 – 1984 :
1)
Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702
menjadi US$ = Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
2)
Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan
subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
3)
Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN
1983) :
-
Kebebasan menentukan suku bunga deposito dan pinjaman
bagi bank-bank pemerintah
-
Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada bank-bank umum
yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
4)
Kebijaksanaan perpajakan : memberlakukan seperangkat
Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan
tahunan B.I. 1983/1984).
Kebijaksanaan
Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
-
Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah
memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman
modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia.
(Laporan
tahunan B.I. 1986/1987).
a)
Sektor Fiskal/ Moneter :
1)
Pemerintah melakukan penghematan antara lain dengan
mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensiftikasi dan
ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)
Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari
US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3)
Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk
mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca
pembayaran.
4)
Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank
Indonesia untuk mendoirong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri
(Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
b)
Sektor Riil (struktural) :
1)
PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan
tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan
kawasan berikat.
2)
PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor:
mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi
harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3)
PAKDES – 1986 (29 Desember 1986) : memberi
kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu.
(Laporan Tahunan B.I. 1986/1987).
-
Program penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi
ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga minyak di
pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu
: (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan
fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan
deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996).
-
Beberapa hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
1)
Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987)
menjadi 5,8% (1988)
2)
Nilai total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta
(1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat
dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
3)
Defisit transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta
(1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik
Keuangan 1991/1992, BPS)
-
Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi
eksternal, termask pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam
proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun1986 berupa
kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat tela memainkan
peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang dijalankan sejak
tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdaya tahan
terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).
B.
KEGIATAN EKONOMI MEMANAS (OVERHEATED) SEJAK 1990
-
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991
ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan
deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap
sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat
terhadap kegiatan dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi
faktor penggerak dalam ekspansi ekonomi.
-
Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi
moneter yang besar, sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand)
yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang
ditandai oleh laju pertumbuhan pesat
selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari
sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
a.
Masalah-masalah yang dihadapi
-
Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan
dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan
berlangsung terus akan membahayakan kestabilan ahrga dalam negeri dan
melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional
(khususnya dibidang neraca pembayaran luar negeri).
Indikator Ekspansi Ekonomi
1)
Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988),
7,5% (1989), 7,1 (1990)
2)
Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17%
(1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta
domestik.
Indikator ekspansi Moneter
1)
Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2)
Kredit perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54%
(1991)
3)
Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5%
(1990-1991)
4)
Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar
(1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro
Djojohadikusumo, 1993).
b.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-
Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan
ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun
ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 –
1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang PELITA V (1989/1990 – 1993/1994)
-
Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan
kebijaksanaan uang ketat.
-
Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk
“mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan
fiskal dan moneter/ perbankan :
1)
Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun
(1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2)
Moneter / perbankan :
a)
Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku
bunga) didukung operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
b)
Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan
to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP :
pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi
menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993:
angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).
C.
KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED
TAHUN 1996
-
Pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), meningkatnya
inflasi, investasi, kredit bank dan kuatnya arus modal luar negeri, terutama
yang bersumber dari hutang swasta luar negeri serta defisit transaksi berjalan
yang makin membengkak, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia berlangsung
melampaui daya dukung (kemampuan) yang ada (Laporan tahunan B.I. 1995/1996).
-
Hal ini menunjukkan, bahwa kondisi ekonomi yang
overheated sejak tahun 1990, mulai tahun 1995/1996 menjadi overloaded, karena :
1)
Meningkatnya permintaan domestik tidak diimbangi dengan
kemampuan menambah penawaran, sehingga harga-harga meningkat
2)
Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong
permintaan kredit perbankan yang tidak diimbangi pertambahan dana bank
menyebabkan naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
3)
Melebarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri,
mendorong masuknya modal luar negeri terutama hutang swasta, sehingga beban
angsuran hutang luar negeri meningkat.
4)
Bersamaan dengan meningkatnya impor non migas yang
tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor non migas, menyebabkan defisit
transaksi berjalan makin membengkak.
a.
Masalah-masalah yang dihadapi
-
Meningkatnya permintaan domestik, baik permintaan untuk
konsumsi maupun investasi, yang tidak disertai dengan meningkatnya penawaran
yang memadai, menimbulkan tekanan pada
gangguan keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I.
1995/1996).
a)
Gangguan Keseimbangan Internal :
1)
Meningkatnya pendapatan nasional dari Rp 300,6
triliunmenjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp
194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang tidak diimbangi dengan
meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2)
Meningkatnya investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju
kenaikan kredit rata-rata 24,8%
(1993/1994 – 1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per
tahun. Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
b)
Gangguan keseimbangan eksternal
1)
Impor non migas mengalami pertumbuhan sampai 19,8%,
sedangkan ekspor non migas hanya meningkat 13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca
pembayaran, sehingga defisit transaksi berjalan meningkat rationya terhadap PDB
dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor pengurang pada
pembentukan PDB.
2)
Meningkatnya kebutuhan investasi yang tidak diimbangi
pergambahan dana bank dan adanya perbedaantingkat suku bunga dalam negeri
(lebih tinggi) dengan suku bungan di luar negeri, menyebabkan surplus lalu lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar
menjadi US$11.4 miliar, dimana sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar
sedangkan sektor swasta surplus US$11.6 miliar, terutama dari hutang swasta ke
luar negeri (laporan Tahunan, B.I. 1995/1996).
-
Memperhatikan perkembangan ekonomi sebagaimana yang
ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan
bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan pejabat resmmi yang selalu meyakinkan
masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi
masih ”kuat”.
b.
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-
Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir
semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF
dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami suatu krisis
moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang sejarah dunjia sejak
akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1995 ada sejumlah
lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah beberapa kali memperingati
Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara tersebut sudah mulai memanas
(overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak segera didinginkan) akan
berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).
Kebijaksanaan Tahun 1995 – 1996
a)
Kebijaksanaan moneter : diarahkan untuk mengendalikann
sumber-sumber ekspansi M2, khususnya meningkatnya kredit bank dan arus modal
luar negeri melalui :
1)
Mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen
SBI dan SBPU
2)
Merubah ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
3)
Merubah ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum
(KPMM) secara bertahap mencapai 12%.
b)
Kebijaksanaan Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk
mengurangi dorongan masuknya modal asing, terutama yang berjangka pendek dengan
cara :
1)
Meningkatkan fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui
pelebaran spread kurs jual dan kurs beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2)
Menerapkan penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan
batas atas dan batas bawwah sebesar Rp 66,00)
3)
Melakukan kerja sama bilateral dengan otoritas moneter
Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Philipina melalui transaksi
repurchases agreement (repo) surat-surat berharga.
c)
Kebijaksanaan sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan
ketahanan ekonomi serta meningkatkan daya saing produksi nasional, meliputi
bidang :
1)
Bidang impor
mencakup
Antara lain
adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2)
Dibidang ekspor mencakup :
Antara lain
penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3)
Iklim Usaha
D.
KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS
EKONOMI
-
Tidak mudah menentukan apa faktor-faktor utama penyebab
krisis ekonoim di Indonesia, karena setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan
oleh faktor-faktor yang langsung (drect factors) dan faktor-faktor yang tidak langsung (indirect factors)
yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula dibedakan aadanya faktor-faktor
internal dan faktor-faktor eksternal, yang mempengaruhi terjadinya krisis
ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat noneknomis.
-
Selain faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga
teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic framework untuk
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus
Tambunan, 1998).
a.
Faktor-faktor Internal
-
Fundamental ekonomi nasional yang merupakan penyebab
krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro misalnya : 1) pertumbuhan
ekonomi, 2) pendapatan nasional, 3) tingkat inflasi, 4) jumlah uang beredar, 5)
jumlah pengangguran, 6) jumlah investasi, 7) keseimbangan neraca pembayaran, 8)
cadangan devisa dan 9) tingkat suku bunga.
-
Dilihaat dari fundamental ekonomi makro, bukan hanya
sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai kontribusi yang besaar terhadap
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena dua alasan:
1)
Perkembangann sektor moneter sebenarnya sangat
tergantung dari perkembangan sektor riil, karena uang (valas) sudah menjadi
komoditas yang diperdagangkan seperti produk-produk dari sektor riil.
2)
Perubahan cadangan valas sangat sensitif terhadap perubahan sektor riil (perdagangan
luar negeri) dan salah satu penyebab depresiasi nilai tukar rupiah yang
menciptakan krisis ekonomi di Indonesia adalah karena terbatasnya cadangan
valas di Bank Indonesia.
-
Indonesia akhirnya juga digoncang oleh “pelarian”
dollar AS. Ini mencerminkan bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung pada modal
jangka pendek dari luar negeri (short-term capital inflow). Sumber utama
pertumbuhan jumlah cadangan devisa Indonesia, bukan dari hasil ekspor neto,
melainkan dari arus modal masuk jangka pendek (surplus neraca kapital) (Tulus
Tambunan, 1998).
b.
Faktor-faktor eksternal
-
Jepang dan Eropa Barat mengalami kelesuan pertumbuhan
ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku bunga sangat rendah. Dana
sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal swasta mengalir ke
negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat krisis.
-
Daya saing Indonesia di Asia yang lemah, sedang nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat (overvalued). (Tulus Tambunan,
1998).
c.
Teori-teori Alternatif
1)
Teori konspirasi, krisis ekonomi sengaja ditimbulkan
oleh negara-negara maju tertentu, khususnya Amerika, karena tidak menyukai
sikap arogansi ASEAN selama ini.
2)
Teori contagion, yaitu karena adanya contagion effect;
menularnya amat cepat dari satu negar ake negara lain, disebabkan investor
asing merasa ketakutan.
3)
Teori business cycle (konjungtur), karena proses
ekonomi berdasarkan mekanisme pasar
(ekonomi kapitalis) selalu menunjukkan gelombang pasang surut dalam bentuk naik
turunnya variabel-variabel makro (Tulus Tambunan, 1998).
d.
Faktor-faktor non-ekonomi
1)
Dampak psikologis dari krisis di Indonesia adalah
merebaknya penomena kepanikan, sehingga para pemilik modal internasional
memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba.
2)
Kepanikan ini kemudian diikuti oleh warga negara di
Indonesia, sehingga sekelompok orang (spekulan) berusaha meraih keuntungan
dengan cara menukar sejumlah besar rupiah terhadap dollar AS. (Tulus Tambunan,
1998).
E.
TERJADINYA KONTRAKSI EKONOMI SEJAK 1998
-
Krisis yang terjadi di Indonesia tidak saja telah
memaksa rupiah terdepresiasi sangat tajam tapi juga menimbulkan kontraksi
ekonomi yang sangat dalam.
a.
Proses terjadinya kontraksi ekonomi
-
Penurunan nilai tukar ruiah yang tajam disertai dengan
terputusnya akses ke sumer dana luar negeri menyebabkan turunnya produksi
secara drastis dan berkurangnya kesempatan kerja.
-
Pada saat yang sama, kenaikan laju inflasi yang tinggi
dan penurunan penghasilan masyarakat menyebabkan merosotnya daya beli sehingga
kesejahteraan masyarakat menurun drastis dan kantong-kantong kemiskinan semakin
meluas.
b.
Indikator kontraksi ekonomi
Indikator Makroekonomi Tahun 1998
Rincian
|
Triwulan I
|
Triwulan II
|
Triwulan III
|
Triwulan IV
|
Perubahan % |
||||
Produk domestik bruto riil
(Tahun dasar 1993)
|
-4,0
|
-12,3
|
-18,4
|
19,5
|
Pengeluaran konsumsi
|
2,4
|
4,8
|
-13,7
|
-9,5
|
Inflasi IHK
|
39,1
|
56,7
|
82,4
|
77
|
Suku bunga PUAB
|
51,8
|
64,6
|
66,2
|
33,4
|
Nilai tukar (Rp$)
|
14,900
|
10,700
|
8,025
|
8,685
|
-
Berbagai permasalahan nonekonomi muncul dalam waktu
yang relatif bersamaan :
(1)
Kerusuhan sosial yang menyebabkan berbagai kerusakan di
sektor produksi maupun distribusi
(2)
Jaringan distribusi yang tidak berfungsi sepenuhnya
disertai panis buying.
(3)
Pergantian kepemimpinan nasional dan proses konsolidasi
pemerintahan baru turut memperlambat pemulihan stabilitas ekonomi, sosial dan
politik.
c.
Pada tahun 1998 PDB Riil menyusut 13,7% yang terutama
disebabkan oleh kegiatan investasi dan konsumsi swastaa yang merosot tajam.
Penurunan kegiatan investasi berkaitan dengan makin memburuknya
ketidakseimbangan neraca dunia usaha, memburuknya kondisi perbankan, rendahnya
kepercayaan investor dari luar negeri.
F.
MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI SETELAH KRISIS
-
Yang menjadi persoalan penting sekarang ini bagi
Indonesia adalah menyangkut biaya krisis atau besarnya “pengorbanan” yang harus
dibayar akibat krisis dan lamanya pengorbanan
itu harus dipikul. Setelah setahun krisis berkalngsung, ternyata biaya
krisis yang harus dibayar masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan di
Thailand, Korea Selatan atau Malaysia.
-
Biaya-biaya sosial : 1) kerusuhan di mana-mana sejak
black May 1998, 2) banyak orang kekurangan gizi, 3) anak putus sekilah
meingkat, 4) kriminalitas makin tinggi.
-
Biaya-biaya ekonomi : 1) pendapatan per kapita anjolok
secara drastis, 2) laju pertumbuhan PDB menjadi negatif, 3) jumlah pengangguran
dan kemiskinan meningkat, 4) bencana kelaparan ini banyak lokasi, 5)
hiperinflasi, dan 6) dengan defisit anggaran pemerintah dan neraca pembayaran
membengkak. (Tulus Tambunan, 1998).
G.
RENCANA DAN PROGRAM PEMULIAHAN EKONOMI
a.
Rencana: menurut Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan/ Kepala Bappenas, Boediono, pemerintah telah menetapkan tempat
tahapan strategis :
1)
Tahap penyelematan (1 – 2 tahun sejak 1998/1999)
2)
Tahap pemulihan yang sifatnya tumpang tindih dengan
tahap sebelumnya (2 tahun)
3)
Tahap pemantapan (1-2 tahun) setelah selelsai tahap
penyelamatan.
4)
Tahap pembangunan yang dapat dimulai kembali apabila
saluran krisis dapat ditanggulangi.
(Kompas, 18
September 1998)
b.
Program Pemulihan dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dan cadangan dollar AS di BI
sudah menipisi, maka bulan Nopember 1997 Indonesia minta bantunan IMF untuk
mendapat bantuan dana (Tulus Tambunan, 1998) :
1)
Pinjaman tahap pertama 3 mioliar dollar AS untuk
memperkuat dan menstabilkan nilai rupiah, diterima bulan Nopember 1997.
2)
Bulan Januari 1998 ditanda tangani nota kesepakatan
atau letter of inten (I) yang memuat 50 point/ ketentuan: kebijaksanaan ekonomi
makro (fiskal-moneter) restrukturisassi keuangan dan reformasi struktural.
3)
Bulan Maret 1998 dilakukan perundingan baru lagi dan
bulan April 1998 ditanda tangani memorandum tambahan atau letter of inten (II)
Ada lima
memorandum tambahan yang disepakati :
(3)
Program stabilisasi pasar uang dan mencegah
hiperinflasi.
(4)
Restrukturisasi perbankann dalam rangka penyehatan
sistem perbankan nasional.
(5)
Reformasi struktur yang mencakup upaya-upaya dan
sasaran yang telah disepakati (letter of inten-II)
(6)
Penyelesaian utang luar negeri swasta (corporate debt).
(7)
Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)
c.
Beberapa langkah penting, sesuai kesepakatan IMF :
1)
Kebijaksanaan moneter
2)
Kebijaksanaan perbankan
3)
Program kesempatan kerja
4)
Reformasi dan
privatisasi BUMN
5)
Restrukturisasi ULN swasta (Tulus Tambunan, 1998).
d.
Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) meliputi :
1)
Program Ketahanan Pangan
2)
Program padat karya
3)
Program perlindungan sosial
4)
Program pemberdayaan ekonomi rakyat
(Kompas, 18
September 1998)
2.1.
DAFTAR BACAAN
1.
Muljana, B.S., Pembangunan Ekonomi dan Tingkat
Kemajuan Ekonomi Indonesia, Lembaga Penerbit FEUI, 1983.
2.
Triyono Widodo, Suseno Hg., Indikator Ekonomi,
Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, Penerbit Kanisius, 1995.
3.
Suroso P.G., Perekonomian Indonesia, Buku
Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1994.
4.
Booth, Anne dan McCawley, Penyunting, Ekonomi Orde
Baru, Terjemahan oleh Boedino, LP3ES, Jakarta, 1990.
5.
Tambunan, Tulus, Dr., Perekonomian Indonesia,
Ghalia Indonesia, 1996.
6.
Tambunan, Tulus, Dr., Krisis Ekonomi dan Masa Depan
Reformasi, Lembaga Penerbit FEUI.
7.
Dmanhuri, Didin S., “Reformasi Ekonomi Indonesia dalam
Masa Transisi”, dalam
8.
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia,
LP3ES, 1998.
9.
Cawley, Peter Mc., “Pertumbuhan Sektor Industri”, dalam
Anne Booth dan Peter Mc Cawley, ed., Ekonomi Order Baru, LP3ES, 1990.
10. Grenville
, Stephen, “Kebijakan Moneter dan Sektor Keuangan Formal”, dalam Anne Booth dan
Peter mc Cawley, ed., Ekonomi Order Baru, LP3ES, 1990.
11. Sadeli,
Muhammad, “Menyongsong Ketetapan-ketetapan MPRS untuk Kebijaksanaan Ekonomi”,
dalam Redaksi Harian Kompas, ed., Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia, PT.
Penerbit Gramedia, Jakarta, 1982.
12. Nitisastro,
Wijoyo, “Landasan Ideal dan Masalah Operasional di Bidang Dimyati”, dalam
Redaksi harian Kompas, ed., Mencari bentuk Ekonomi Indonesia, PT.
Gramedia, jakarta. 1982.
13. Djamin,
Zulkarenin, Pinjaman Luar Negeri, Prosedur Administratif dalam
Pembiayaan Proyek Pembangunan di Indonesia, UI-Press, 1993.
14. Nasution,
Anwar, “Aspek Ekonomi Anggaran Belanja Negara” dalam Anwar Nasution, ed., Peluang
dan Tantangan Pembangunan sampai 1989, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1985.
15. Djojohadikusumo,
Soemitro, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan,
LP3ES, Jakarta, 1993.
16. Bank
Indonesia, Laporan Bank Indonesia, Tahun 1986/1987, 1995/1996.
17. Biro
Pusat Statistik, Statistik Keuangan, Tahun 1991/1992.
Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com